Ekonomi & Bisnis
Studi FITRA: Pengelolaan Anggaran untuk Pemenuhan Air Bersih dan Sanitasi Bermasalah
TEMPO BISNIS
| Mei 23, 2024
31 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat untuk Air dan Sanitasi Berkeadilan, Inklusif dan Berkelanjutan (Just-In WASH Calition Indonesia) mengungkap perempuan yang berdomisili di wilayah pesisir masih kekurangan akses air bersih dan sanitasi. Salah satu penyebabnya, pemerintah belum melakukan pengelolaan sumber daya publik secara adil dan efektif. Koalisi mendorong pemerintah supaya memprioritaskan pemenuhan air bersih dan sanitasi yang layak dan aman bagi perempuan di wilayah pesisir.
Wakil Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Ervyn Kaffah mengatakan kredibilitas anggaran untuk sektor air bersih dan sanitasi di daerah sangatlah rendah. Fenomena itu, kata dia, memiliki relevansi dengan tata kelola anggaran yang tidak mempertimbangkan kebutuhan perempuan miskin dan karakteristik wilayah pesisir.
Padahal, pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. "Sejauh ini masih jadi pertanyaan, bagaimana program pemerintah beradaptasi dengan perubahan iklim," kata Ervyn kepada Tempo pada Kamis, 23 Mei 2024.
Koalisi Masyarakat untuk Air dan Sanitasi Berkeadilan dan Inklusif terdiri dari terdiri dari Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Perkumpulan Inisiatif, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) dan International Budget Partnership (IBP).
Seknas FITRA sendiri telah melakukan studi tentang kebijakan dan anggaran air bersih dan sanitasi di wilayah pesisir, khususnya di lima kabupaten dan kota. Seperti di Kabupaten Lombok Timur (Provinsi Nusa Tenggara Barat), Bangkalan (Jawa Timur), Tangerang (Banten), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Medan (Sumatera Utara).
Berdasarkan studi itu, Seknas FITRA menemukan bahwa perencanaan anggaran yang dilakukan pemerintah belum sensitif gender. Selain itu, alokasi anggarannya pun tidak mencukupi. “Bahkan tidak tepat sasaran,” ujar Ervyn.
Iklan
Ervyn mengungkap rata-rata realisasi anggaran pemerintah daerah di 5 kota dan kabupaten itu selama kurun waktu 1999-2022. Di mana kredibilitas anggaran untuk sektor air minum, sanitasi, dan pengelolaan sampah hanya berkisar antara 10-34 persen. "Realisasi anggarannya selisih 10-34 persen dari rencana," ujar Ervyn.
Rendahnya serapan anggaran itu, kata Ervyn, disebabkan oleh keterlambatan dalam proses pengadaan barang dan jasa. "Kami juga menemukan bahwa alokasi anggaran untuk sektor tersebut sebagian besar digunakan untuk belanja gaji dan operasional aparatur pemerintah," kata dia. Akibatnya, persoalan ketersediaan air bersih tidak kunjung bisa diselesaikan.
"Sampai saat ini, pemenuhan air aman melalui perpipaan masih sangat rendah, baru sekitar 30 persen lebih masyarakat Indonesia yang bisa mengakses air aman," ucapnya.
Ia berharap ada reformasi kebijakan anggaran oleh pemerintah pusat dengan melibatkan beberapa kementerian terkait bisa melahirkan kebijakan Dana Alokasi Khusus atau DAK yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar tersebut. Apalagi kata dia, Indonesia punya target untuk SDGs 6 di tahun 2030.
komentar
Jadi yg pertama suka