Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Tanah Air
Fenomena Kotak Kosong dan Agenda Hegemoni Elite Parpol Pusat
CNN INDONESIA   | September 9, 2024
16   0    0    0
Jakarta, CNN Indonesia --
Sebanyak 41 daerah dipastikan hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah atau calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024. Kondisi ini terjadi setelah KPU menutup perpanjangan masa pendaftaran pada 4 September 2024.
Puluhan daerah calon tunggal itu terdiri dari satu provinsi yakni Papua Barat dan 35 kabupaten dan lima kota. Alhasil, para paslon di daerah itu akan melawan kotak kosong saat hari pemungutan suara yang digelar pada 27 November 2024.
Angka calon tunggal di Pilkada 2024 ini melonjak dibandingkan pada Pilkada 2020 lalu sebanyak 25 Kabupaten/kota. Sementara pada Pilkada 2018 lalu terdapat calon tunggal di 13 daerah dan sembilan calon tunggal di Pilkada 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
UU Pilkada mengatur paslon tunggal harus mengumpulkan lebih dari 50 persen suara untuk menang dari kotak kosong. Hal itu diatur pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Jika paslon tunggal gagal meraih 50 persen suara sah, maka kotak kosong yang menang. Apabila kondisi itu terjadi, UU Pilkada mengatur pilkada hanya bisa diulang di pilkada serentak berikutnya.
Untuk mengisi kekosongan jabatan, pemerintah menunjuk ASN sebagai penjabat (Pj.) kepala daerah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini memotret masih banyaknya calon tunggal di Pilkada serentak 2024 lantaran terus berlangsungnya hegemoni dan penetrasi pencalonan oleh parpol di tingkat nasional ke lokal.
Titi mengatakan kondisi calon tunggal ini terjadi sebetulnya bukan karena persoalan demokrasi di tingkat lokal, melainkan justru diciptakan oleh para partai politik di tingkat nasional.
"Kehadiran calon tunggal ini hegemoni dan dominasi pencalonan oleh elite politik di tingkat nasional. Calon tunggal itu adalah ekses dari agenda elite nasional. Yang kemudian dipenetrasi melalui rekomendasi DPP yang hanya menghasilkan calon tunggal," kata Titi dalam sebuah webinar yang digelar oleh The Constitutional Democracy Initiative, Minggu (8/9) kemarin.
Titi mengungkap terdapat perbedaan karakter calon tunggal yang terjadi di Pilkada 2015 dan pasca Pilkada 2015 sampai saat ini.
Karakter calon tunggal di Pilkada 2015 lalu, kata Titi, dilakukan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai dan menyelamatkan hak pilih warga.
Sementara karakter calon tunggal di Pilkada pasca 2015 sampai saat ini terjadi karena praktik memborong tiket partai politik terjadi begitu masif lantaran ada hegemoni oleh keputusan pusat partai.
"Calon tunggal pasca 2015 Sekarang calon tunggal menjadi pola memborong dukungan mayoritas partai. Ada 12 partai, 13 partai, 15 partai. Bahkan ada yang 18 partai begitu," kata Titi.
"Jadi agak berbeda nih. Calon tunggal awalnya untuk menyelamatkan, justru untuk menutup keran pencalonan sekarang," tambahnya.
Titi kemudian melihat hegemoni partai di tingkat pusat melalui rekomendasi dari DPP itu telah memicu ketidakpuasan warga terhadap kandidat kepala daerah yang diusung di sejumlah daerah. Sebab, warga menilai ada keterputusan aspirasi.
Ia mencontohkan ada keterputusan aspirasi warga dan parpol ini terjadi dalam Pilkada Jakarta dan beberapa daerah lain. Imbasnya, muncul ekspresi ketidakpuasan warga dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat.
"Di Jakarta ada Anies Baswedan, dan Ahok. Kok, yang dicalonkan lain? Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem," katanya.
"Lalu juga di daerah-daerah calon tunggal mulai ada tuh gerakan tandingan. Mendaftarkan kotak kosong setelah si calon tunggal didaftarkan," tambahnya.

Kaderisasi gagal

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam mengatakan maraknya paslon tinggal di Pilkada serentak menunjukkan partai politik gagal mencetak pemimpin di tingkat lokal padahal sudah dipermudah oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
MK sebelumnya memutuskan partai yang tidak memperoleh kursi DPRD tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat persentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).
Aturan baru ini mengubah aturan sebelumnya yang mensyaratkan pasangan calon kepala daerah harus diusung partai politik atau gabungan partai dengan perolehan 25 persen suara atau 20 persen kursi DPRD.
"Ini aneh bin ajaib menurut saya. Tidak ada maknanya partai politik kalau tidak mampu menghasilkan kader yang unggul untuk ditarungkan di pilkada padahal sudah dipermudah MK," kata Surokim, Senin (9/9).
Surokim menjelaskan prinsip utama partai politik merupakan tempat berhimpun menyiapkan kader-kader sebagai pemimpin. Ia menilai fungsi parpol menjadi anomali jika tak mengusung kadernya sendiri maju di kontestasi politik daerah.
"Kalau kemudian mereka hanya menjadi pemandu sorak pilkada, menjadi cheerleaders pilkada, untuk apa sebenarnya mereka berhimpun itu?" kata dia.
Di sisi lain, Surokim melihat faktor paslon tunggal dapat hadir lantaran parpol ogah melawan kandidat petahana yang terlampau kuat di suatu daerah. Baginya, kandidat petahana ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan memborong parpol untuk mengusung dirinya maju kembali.
"Bayangkan seperti kelas Surabaya itu 18 partai politik. Tidak ada satupun yang keluar Itu. Partai-partai politik itu akhirnya kemudian realistis Karena daripada gambling, kalah mending dapat sharing power dari mendukung incumbent Itu," kata dia.
(rzr/gil)
komentar
Jadi yg pertama suka