Ekonomi & Bisnis
Kisah Sritex, dari Pemasok Seragam NATO, Terlilit Utang hingga Pailit
CNN EKONOMI
| Oktober 28, 2024
37 0 0
0
Jakarta, CNN Indonesia --
PT Sri Rejeki Isman (Sritex) tengah menjadi sorotan lantaran dinyatakan pailit. Padahal perusahaan tekstil itu sempat berjaya hingga menjadi produsen seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan tentara Jerman.
Lantas bagaimana perjalanan kisah Sritex dari awal dibentuk hingga dinyatakan pailit?
Sritex didirikan oleh H.M Lukminto sebagai perusahaan perdagangan tradisional pada 1966 di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Dua tahun kemudian, pabrik cetak pertama Sritex dibuka dengan memproduksi kain putih dan berwarna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 1978, Sritex terdaftar di Kementerian Perdagangan sebagai perseroan terbatas. Lalu pada 1982, Sritex mendirikan pabrik tenun pertamanya.
Sekitar 10 tahun kemudian, Sritex memperluas pabrik dengan empat lini produksi, yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir dan busana dalam satu lokasi.
Pada 1994, Sritex bahkan sempat menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman.
Di tengah krisis moneter 1998, Sritex pun mampu bertahan dan berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992.
Sritex terus bertumbuh selama bertahun-tahun hingga secara resmi terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL. Namun, SRIL disuspensi Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Mei 2021.
Hal tersebut imbas penundaan pembayaran pokok dan bunga medium term note (MTN) Sritex tahap III 2018 ke-6 (USD-SRIL01X3MF).
Awalnya suspensi diberikan sampai sampai 18 Mei 2023 atau menjadi 24 bulan. Namun, Sritex tak kunjung melakukan kewajibannya. Karenanya, BEI juga telah berulang kali memberikan surat peringatan potensi delisting pada emiten sektor tekstil tersebut.
Ketentuan delisting ditetapkan jika saham perusahaan telah diberhentikan sementara (suspensi) selama 24 bulan dan saham mengalami kondisi yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum.
Tak hanya itu, Sritex juga sempat dikabarkan bangkrut. Namun perusahaan membantah kabar itu.
Direktur Keuangan Sritex Welly Salam mengatakan penjualan mereka memang menurun tetapi tidak sampai bangkrut. Ia menjelaskan kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun AS.
Selain itu, lesunya industri tekstil terjadi karena banjir produk tekstil di China. Menurutnya, hal itu menyebabkan terjadinya dumping harga, di mana produk-produk berharga lebih murah ini menyebar ke negara-negara yang longgar aturan impornya, dan salah satunya Indonesia.
"Kendati, perusahaan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional dengan menggunakan kas internal maupun dukungan sponsor," jelasnya.
Namun, perusahaan yang sudah berjalan selama 36 tahun itu kemudian dinyatakan pailit. Keputusan tertulis dalam putusan perkara Pengadilan Negeri (PN) dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg pada Senin (21/10) lalu.
Berdasarkan sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Semarang, pemohon pailit Sritex menyebut termohon telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi tertanggal 25 Januari 2022.
Tak tinggal diam, Sritex mengajukan kasasi atas putusan pailit tersebut. GM HRD Sritex Group Haryo Ngadiyono menyebut operasional perusahaan masih berjalan meski ada putusan pailit.
"Hari ini sudah melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung," ucapnya di Menara Wijaya Setda Sukoharjo, Jumat (25/10) dikutip Detik Jateng.
(fby/pta)
komentar
Jadi yg pertama suka