Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Indef Kritik PPN 12 Persen saat Ekonomi Lemah: Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga
TEMPO BISNIS   | 15 jam yang lalu
1   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritik keputusan pemerintah yang berkukuh menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen tahun depan di tengah situasi ekonomi yang sedang melemah. Menurut analisis para ekonom Indef, kebijakan PPN 12 persen bisa membuat pertumbuhan ekonomi pada 2025 kurang dari 5 persen.
“Situsasi PPN 12 persen pada saat ekonomi sedang melemah itu seperti sudah jatuh, tertimpa tangga,” kata Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto di acara pemaparan “Proyeksi Ekonomi Indef 2025” di Jakarta Pusat, yang juga disiarkan di YouTube pada Kamis, 21 November 2024.
PPN adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak. Perubahan tarif PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
 
Tarif PPN sebesar 12 persen akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, seperti diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) UU HPP. Sementara, tarif sebesar 11 persen telah berlaku sejak 1 April 2022.
 
Eko mengatakan, sebenarnya kenaikan PPN bisa dikoreksi dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu untuk mengubah UU HPP. Atau, menurut ekonom senior Indef Mohamad Fadhil Hasan, pemerintah dapat menerapkan “pajak orang kaya” alih-alih menaikkan PPN yang membebani seluruh lapisan masyarakat. 
 
Fadhil menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan membawa dampak ekonomi meluas kepada kelas bawah, menengah, dan atas. Sedangkan 'pajak orang kaya' tidak akan menghantam perekonomian. “Kalau misalnya yang super rich ini ditingkatkan pajakmya, itu tidak akan memberikan dampak secara keseluruhan terhadap perekonomian,” kata dia.
 
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kepastian rencana kenaikan tarif PPN saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat pada Kamis, 14 November lalu. Ia menjelaskan bahwa hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
 
“Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok,” kata dia, seperti dikutip dari Antara.
 
Padahal, menurut hitungan Indef, kenaikan tarif PPN sekitar 12 persen dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menurun 0,17 persen dari biasanya. Konsumsi rumah tangga juga diperkirakan bakal merosot sebanyak 0,62 persen. Adapun Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen selama masa kepemimpinannya.
 
Indef juga mengkalkulasi, jika PPN 12 persen diterapkan, maka mungkin pertumbuhan ekonomi RI tahun depan akan berada di bawah 5 persen. Angka tersebut lebih rendah dari prediksi Indef untuk 2025. “Tadi angka 5 persen itu kita masih mengasumsikan PPN nggak naik,” kata Eko.
 
Hasil survei Inventure 2024 tentang Indonesia Market Outlook 2025 sebelumnya menunjukkan masyarakat kelas menengah merasa tertekan oleh rencana kenaikan PPN. Dalam survei itu, para responden ditanyakan tentang apa saja kebijakan-kebijakan pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi yang seharusnya dibatalkan, direvisi, atau dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
 
Tiga kebijakan yang paling ingin dibatalkan oleh kelas menengah yaitu kenaikan PPN 12 persen (menurut 43 persen responden), pembangunan infrastruktur yang memangkas alokasi anggaran kesejahteraan sosial (34 persen) dan penghapusan kelas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (32 persen).
komentar
Jadi yg pertama suka