Ekonomi & Bisnis
Ini Alasan Pengusaha, Ekonom, hingga Konsumen Menolak Kenaikan PPN
TEMPO BISNIS
| 6 jam yang lalu
5 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen di tahun 2025. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kenaikan ini merupakan amanat langsung dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan PPN ini mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Sebabnya, kenaikan PPN dinilai bisa memukul daya beli masyarakat yang akan memberikan pukulan telak, baik terhadap pengusaha maupun konsumen.
Ekonom Segara Institute, Piter Abdullah, menilai perekonomian negara saat ini sedang mengalami perlambatan atau slow down. Hal ini dibuktikan dengan anjloknya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, kata Piter, menaikkan PPN hanya akan menimbulkan daya rusak yang lebih besar karena mengakibatkan terjadinya inflasi harga-harga barang.
“Harga-harga naik ketika masyarakat mengalami penurunan daya beli, maka akan menghantam double hit. Ini istilahnya sudah jatuh, tertimpa tangga,” kata Piter ketika dihubungi pada Kamis, 21 November 2024.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan tarif PPN yang naik hanya akan menambah berat beban masyarakat selaku konsumen. Mereka khawatir, daya beli konsumen yang sudah rendah malah semakin terpuruk imbas PPN 12 persen.
“Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen,” bunyi keterangan tertulis YLKI.
Naiknya PPN dan Pertumbuhan Dunia Usaha yang Stagnan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan bahwa saat ini dunia usaha sedang mengalami stagnasi dari segi penjualan. Ia menyebutkan, setidaknya 4 dari 10 pengusaha saat ini bisnisnya jalan di tempat.
“Temuan APINDO menunjukkan bahwa 4 dari 10 pelaku usaha saat ini mengalami stagnasi penjualan, dengan pertumbuhan kurang dari 3 persen,” kata Shina dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo, Rabu, 21 November 2024.
Apalagi menurutnya, kondisi perekonomian negara cenderung melemah. Pada kuartal III 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,95 persen secara year on year (yoy). Dimana, angka ini masih di bawah ambang batas 5 persen yang telah ditetapkan sebelumnya.
Shinta merasa khawatir, bila kenaikan tarif PPN tetap dipaksakan di tengah perekonomian yang melemah akan menurunkan konsumsi masyarakat. Hal ini dinilai akan berimbas buruk ke sektor usaha yang tingkat penjualannya masih stagnan.
“Kondisi ini menandakan bahwa kebijakan kenaikan PPN akan semakin memperburuk kinerja sektor riil dan menurunkan minat konsumsi masyarakat,” ujar Shinta.
Bukan hanya stagnasi penjualan, lebih buruknya kenaikan PPN bisa menyebabkan turunnya tren penjualan. Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto memprediksi bakal terjadi penurunan tren penjualan karena semakin melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN, khususnya di sektor industri properti.
“Ada penurunan sektor industri (properti) ini dari sisi pertumbuhan,” kata Joko di Kantor DPP REI, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Menurut Penelitian Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Muhammad Anwar, kenaikan PPN secara tidak langsung akan meningkatkan biaya operasional maupun produksi dari perusahaan. Hal ini disebabkan sebagian besar bahan baku dan layanan yang mereka gunakan juga akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi.
“Biaya ini pada akhirnya akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi,” ucap Anwar dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 22 November 2024.
Bahaya Penurunan Konsumsi Masyarakat Akibat Kenaikan PPN
Menurut Chief Economist atau Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual, memastikan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berakibat langsung terhadap kenaikan harga barang-barang. David memprediksi, setidaknya akan ada kenaikan harga barang sekitar 9 persen imbas kenaikan PPN.
“Ini kan kalau (PPN) naik dari 11 persen ke 12 persen, itu kan kenaikan harga barangnya sekitar 9 persenan,” kata David ketika dihubungi pada Kamis, 21 November 2024.
Kenaikan PPN ini, kata David, nantinya akan berimbas langsung kepada sektor konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga. Dimana berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga 51,87 persen terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) negara.
Selain itu, harga-harga kebutuhan pokok diprediksi juga akan ikut naik akibat PPN naik menjadi 12 persen. Menurut Anwar, kenaikan harga-harga bahan pokok tersebut akan menjadi efek domino dari kenaikan PPN.
“Meskipun barang kebutuhan pokok tidak langsung dikenakan PPN, tetapi domino effect dari kenaikan PPN pasti akan mengerek harga kebutuhan pokok,” kata Anwar.
Kenaikan harga-harga barang ini dinilai akan membuat masyarakat dengan sendirinya membatasi konsumsi rumah tangganya. Hal ini didorong dengan fakta daya beli masyarakat yang secara tren selama ini cenderung melemah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai dengan pendapatan riil yang masih rendah dan besaran upah minimum yang jauh dari kata cukup, sulit bagi masyarakat untuk melakukan belanja. Perilaku masyarakat yang menahan untuk belanja ini yang menurutnya berbahaya.
“Konsumsi rumah tangga kan seperti disebut sumbangannya cukup besar bagi perekonomian dan kalau (konsumsi) itu terganggu ya pertumbuhan ekonominya bisa rendah,” ujar Bhima ketika dihubungi, Kamis, 21 November 2024.
Hal ini kemudian dikhawatirkan akan memukul perekonomian negara yang ditopang oleh sektor konsumsi rumah tangga. Piter Abdullah, mewanti-wanti adanya kemungkinan terburuk dimana terjadinya fenomena underconsumption atau konsumsi masyarakat yang jauh berkurang.
“Kalau menahan konsumsi, ujung-ujungnya akan berbalik ke kita sendiri juga, kita semua. Underconsumption itu akan menurunkan demand, yang artinya perekonomian kita itu akan nggak jalan,” kata Piter.
komentar
Jadi yg pertama suka