Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Mencari Rumus Ideal UMP 2025: Buruh Sejahtera, Perusahaan Tak Berat
CNN EKONOMI   | Nopember 26, 2024
13   0    0    0
Jakarta, CNN Indonesia --
Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 menjadi perdebatan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terang-terangan menolak rumus upah dari Menteri Ketenagakerjaan Yassierli. Para pekerja menilai rumusan pemerintah bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023.
Yassierli disebut berencana membagi dua kelompok upah buruh, yakni kategori industri padat karya dan padat modal. Draft permenaker yang diperoleh kelompok buruh itu juga memberi kelonggaran bagi pengusaha yang tak mampu membayar kenaikan UMP 2025, di mana bisa dirundingkan secara bipartit pada tingkat perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jelas keputusan draft permenaker ini bertentangan dengan keputusan MK. Oleh karenanya ditolak oleh buruh," tegas Presiden KSPI Said Iqbal dalam rilis resminya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea juga menolak rancangan tersebut. Menurutnya, pembagian dua kategori kenaikan upah jelas melanggar putusan MK.
Andi mengutip putusan MK terkait UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa kenaikan upah minimum hanya berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu atau alpha. Komponen ini juga mesti memperhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL).
Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak berpendapat seharusnya pemerintah tak perlu membeda-bedakan kenaikan UMP 2025. Ia menegaskan tidak usah ada upah untuk padat karya serta padat modal.
Menurutnya, upah untuk usaha padat modal tak harus diatur dalam permenaker. Payaman menyarankan sektor ini bisa diputuskan dalam perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha.
"Kenaikan upah minimum 2025 seharusnya tidak perlu dibuat menjadi riuh atau gonjang-ganjing. Anggap biasa-biasa saja," ucap Payaman kepada CNNIndonesia.com, Senin (25/11).
Payaman menegaskan beleid baru tentang pengupahan belum diundangkan. Oleh karena itu, ia meminta para pengusaha dan buruh berkaca pada rumus kenaikan upah menurut PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan.
Ia menilai semua elemen yang terlibat dalam gejolak pengupahan ini bisa mengantisipasinya. Kemudian, tinggal memasukkan data-data ekonomi pada tahun berjalan.
"Nampaknya inflasi sekitar 4 persen-5 persen dan pertumbuhan ekonomi per provinsi antara 4 persen-6 persen. Jadi, kenaikan UMP 2025 sekitar 6 persen-8 persen," prediksi Payaman jika menggunakan formulasi lama.
Menaker Yassierli memang tampak masih bingung dalam membuat keputusan. Ia seakan buntu meski sudah menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pada Senin (25/11).
Yassierli belum bisa mengumumkan UMP 2025 meski sudah lewat dari batas aturan, yakni selambat-lambatnya 21 November pada tahun berjalan. Ia memastikan keputusan ini bakal molor sampai akhir November 2024 atau awal Desember 2024.
Ia mengklaim masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan lebih jauh. Yassierli menyebut rumus penentuan UMP harus menghadirkan titik temu antara meningkatkan penghasilan buruh serta mengerek daya saing dunia usaha.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menekankan penetapan UMP 2025 mesti adil. Perlu ada pendekatan yang mampu menyeimbangkan kepentingan pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
"Jalan tengah yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan formula yang mengintegrasikan KHL, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," saran Achmad.
Ia menilai kebutuhan hidup layak (KHL) adalah dasar untuk memastikan upah baru itu mampu memenuhi kebutuhan dasar pekerja. Sedangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi guna menyesuaikan upah dengan kondisi makroekonomi yang dinamis.
Achmad juga mewanti-wanti klasterisasi upah berdasarkan sektor industri malah bakal menimbulkan ketidakadilan antarpekerja jika tidak disertai mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan
Mengenai persentase kenaikan upah ideal untuk 2025, Achmad menyebut hal itu harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi terkini. Pertimbangannya antara lain inflasi, pertumbuhan ekonomi, beban biaya hidup akibat kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025 dan berbagai potongan gaji lainnya.
"Jika inflasi diproyeksikan sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5 persen, maka kenaikan upah sebesar 5 persen hingga 7 persen dapat dianggap ideal.
Sebagai contoh, UMP DKI Jakarta saat ini Rp5.067.381. Kenaikan 5 persen akan membawa UMP menjadi sekitar Rp5.320.750 yang cukup untuk menjaga daya beli pekerja tanpa terlalu membebani pengusaha," jelas Achmad.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar tak hanya menyoroti kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen di 2025 dalam mempertimbangkan kenaikan upah tahun depan. Apalagi, beban asli yang bakal dirasakan masyarakat dari kenaikan PPN itu sejatinya mencapai 9 persen, bukan cuma 1 persen.
Timboel juga mewanti-wanti rencana pemerintah membatasi subsidi BBM pada tahun depan. Ada juga kondisi geopolitik internasional yang belum tenang sehingga diperkirakan bakal berdampak terhadap 64 komponen KHL.
"Kenaikan upah minimum idealnya di atas inflasi KHL yang terjadi untuk menjaga daya beli pekerja dan keluarganya. Kenaikan upah minimum di 2025 sebesar 8 persen-9 persen merupakan kenaikan ideal," kata Timboel.
Ia kemudian mengutip poin ke-9 Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang menyoroti kewajiban pemerintah memenuhi hak buruh. Ini termasuk makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.
Oleh karena itu, Timboel menekankan bahwa sudah seharusnya penentuan UMP 2025 didasari pada 64 komponen hidup layak (KHL).
"Kalau kenaikan UMP 2025 di bawah nilai inflasi 2025 maka upah riil buruh akan menurun, daya beli buruh dan keluarganya turun. Dengan daya beli buruh yang menurun, maka akan mempengaruhi konsumsi agregat," tutur Timboel.
"Pergerakan barang dan jasa yang diproduksi oleh pengusaha akan semakin lambat. Ini menyebabkan penurunan keuntungan pengusaha yang juga akan menurunkan pendapatan pajak pemerintah. Itu semua akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, (karena) konsumsi agregat berkontribusi 52 persen terhadap pertumbuhan ekonomi," tandasnya.

komentar
Jadi yg pertama suka