Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Kenaikan PPN 12 Persen Banyak Ditentang, Kenapa Pemerintah Tak Bergeming?
TEMPO BISNIS   | 4 jam yang lalu
7   0    0    0
PEMERINTAH tampaknya tetap akan menaikkan pajak pertambahan nilai sebesar 1 persen atau PPN 12 persen, kendati muncul banyak penolakan dari masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih kenaikan PPN 12 persen sesuai mandat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 yang memutuskan PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Ia juga menegaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor. "Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," katanya di depan Komisi XI DPR RI, Kamis, 14 November 2024.

Menurut dia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya. "Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN," ujarnya.
Di tengah masyarakat, semakin kencang suara yang meminta Pemerintahan Presiden Prabowo membatalkan kenaikan PPN 12 Persen itu. Partai Buruh yang mengklaim sebagai satu-satunya partai politik yang digerakkan oleh kelas pekerja, menolak dengan tegas wacana PPN 12 persen dan mengancam akan mogok massal.
Sementara Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal merekomendasikan penundaan terhadap kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, guna mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
"Ditunda mestinya, jadi it's not a good timing. Itu kalau kita berbicara masalah mengatasi kesenjangan ekonomi pada saat sekarang, dan juga target pertumbuhan ekonomi, karena target pertumbuhan ekonominya mau lebih tinggi kan," ujar Faisal di Jakarta, Selasa, 19 November 2024.
Faisal menjelaskan produk barang jadi seperti elektronik, perlengkapan rumah tangga, furnitur akan mengalami penurunan pembelian saat dikenakan PPN 12 persen. Barang-barang tersebut, kata Faisal, lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat dari kelas menengah, yang total nilai konsumsinya mencapai 84 persen.
Ekonom Center of Economics and Law Studies, Nailul Huda mengatakan penerapan PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) masyarakat. Hal ini dinilai kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi.
Dia berharap pemerintah dapat membatalkan kebijakan PPN 12 persen pada tahun depan. Seharusnya, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi konsumsi bagi kelas menengah. “Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) akan meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro,” tutur Huda.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menegaskan bahwa Apindo dalam posisi kontra terhadap wacana kenaikan PPN 12 persen. Shinta menuturkan penolakan tersebut berlandaskan kekhawatiran penurunan konsumsi masyarakat.
“Implementasi kebijakan PPN pada saat seperti ini justru berisiko menekan konsumsi domestik,” kata Shinta seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 22 November 2024.
Barang dan Jasa Kebutuhan Dasar Rakyat Tak Kena PPN 12 Persen
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti, mengatakan, barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar rakyat tak dikenakan tarif PPN.
Artinya, kebutuhan rakyat tidak terpengaruh oleh kebijakan kenaikan PPN.
“Tidak semua barang dan jasa terkena PPN. Barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat banyak dibebaskan dari pengenaan PPN,” ujar Dwi.
Dia merinci barang yang dibebaskan tarif PPN mencakup barang kebutuhan pokok, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Adapun jasa yang dibebaskan dari tarif PPN, di antaranya jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan.
Sementara tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN nantinya akan dikembalikan kepada rakyat melalui berbagai program, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, serta subsidi pupuk.
Pemerintah pun telah memperluas lapisan penghasilan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta yang dikenakan tarif terendah sebesar 5 persen.
Juga terdapat kebijakan pembebasan pajak penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta.
“Hal ini ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat terutama kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah,” kata Dwi pula.
Di sisi lain, sebagai wujud kegotongroyongan orang pribadi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp5 miliar dikenakan tarif tertinggi sebesar 35 persen.
“Terkait penyesuaian tarif PPN, mohon tidak semata-mata dilihat dari kenaikannya,” ujarnya lagi.
ANTARA | YOLANDA AGNE | ANANDA RIDHO SULISTYA | VENDRO IMMANUEL G 
komentar
Jadi yg pertama suka