Ekonomi & Bisnis
Berpindah-pindah Kerja, Cara Gen Z Mencari Upah Layak hingga Ruang Tumbuh
TEMPO BISNIS
| 13 jam yang lalu
6 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Viola Nada akhirnya lega tatkala keluar dari perusahaan swasta yang berbasis di Yogyakarta pada awal Desember lalu. Selama 6 bulan bekerja sebagai sales di sana, perempuan berusia 23 tahun itu tak tentram. Perusahaan menuntutnya harus bisa mengantongi kesepakatan dengan klien Rp 300 juta per bulan, belum lagi ia bisa menjalani 20 rapat berbeda tiap harinya. Selain itu ada beragam target tak masuk akal yang membuatnya kewalahan. Sayangnya, tuntutan kerja sebanyak itu membuat Gen Z satu ini merasa tak berkembang. Lama-lama, Viola sering mudah cemas. Saat beberapa kali merasa detak jantungnya terasa makin cepat saat bekerja, ia bulat untuk undur diri.
Nilai dan aktualisasi diri penting bagi Viola. Bekerja, menurut dia, tak hanya mencari uang. Sayangnya, kantor lamanya tak memberikan itu. Bosnya justru mengklaim, suasana tak nyaman di kantornya itu hal wajar. Dengan cara itu, ia menganggap karyawannya akan berkembang. “Makin mapan perusahaan, makin tak nyaman suasana di dalamnya,” ujar perempuan yang kini mengaku nyaman bekerja sebagai copywriter di perusahaan agensi itu menirukan perkataan eks atasannya kepada Tempo, Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Viola bukan satu-satunya yang tak betah di sana. Ia berkata, pertukaran karyawan (turn over) di perusahaan yang hampir seluruh karyawannya merupakan Gen Z itu amat tinggi. Paling lama, orang hanya betah bekerja selama 3 tahun. Perusahaan kerap menganggap mereka yang akhirnya mundur sebagai orang lemah dan tak tahan dengan produktivitas tinggi.
Sawitri, Country Head of Marketing Jobstreet by SEEK Sawitri tak sependapat dengan anggapan Gen Z lemah dan inkompeten. “Saya rasa kok itu labelling,” ujarnya, Kamis, 10 Oktober 2024. Ia mengatakan, Gen Z dapat bekerja dengan baik asal atasan memberikan pemahaman ihwal visi perusahaan. Sebab, Gen Z perlu memastikan visi perusahaan selaras dengan nilai-nilai dan tujuan hidup mereka.
Lewat pemahaman tentang tujuan pekerjaan, Gen Z akan mengerti pekerjaan remeh-temeh yang tampaknya kecil sebenarnya memiliki dampak signifikan. Mereka menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sayangnya, kata Sawitri, supervisor kerap hanya mendelegasikan pekerjaan tanpa menjelaskan maknanya.
Sebagai pekerja, Gen Z memiliki karakteristik tersendiri. Muhammad Faisal, peneliti senior YouthLab, mengungkap setiap generasi memiliki titik patok, yakni masa ketika mereka memasuki usia remaja. Di masa ini, mereka mengkristalisasi nilai-nilai dan cara pandang. Bagi Gen Z, titik patok mereka adalah pandemi Covid-19. Selama pandemi, agresi mereka ditekan karena terpaksa berada di dalam rumah.
Banyak momen-momen dilompati Gen Z selama pandemi, dari pesta kelulusan, konser, hingga bersua langsung dengan teman-teman sebaya. Tak heran begitu pandemi usai, festival musik lekas menjamur. Di kalangan anak SMA, perubahannya lebih terasa. “Hari pertama sekolah, langsung tawuran semua,” ujarnya, Kamis, 10 Oktober 2024.
Pandemi juga memengaruhi cara pandang Gen Z terhadap dunia kerja. Mereka kini memiliki aspirasi hidup yang seimbang (life balance). Kalau lingkungan kerja sudah dirasa toksik atau bosnya galak, kata Faisal, Gen Z memilih keluar demi kesehatan mental. Kesadaran ini mengakibatkan komitmen mereka cenderung tipis terhadap perusahaan.
Tak melulu buruk, pandemi juga berdampak positif terhadap Gen Z. Mereka menjadi generasi yang akrab dengan teknologi dan dunia digital. Faisal menyebutnya: digital hippies. “Ada yang akhirnya jadi uang, ada yang akhirnya jadi karier, tapi ada yang enggak jelas juga,” ujarnya.
Kedekatan dengan kultur digital juga memengaruhi cara pandang Gen Z. Siklus hidup tak lagi belajar dan bekerja mati-matian lalu menikmati hasilnya. Ada fenomena you only live once (YOLO) yang membuat mereka memilih menikmati masa muda. Cara pandang terhadap uang juga berubah. Fenomena fear of missing out (FOMO) mengacaubalaukan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang selama ini ajek untuk mengatur prioritas belanja.
Viola mengakui pandemi membuatnya kehilangan masa emas selama perkuliahan. Perempuan lulusan Universitas Gadjah Mada itu sadar, ada interaksi langsung dengan teman-temannya yang lenyap. Ia menduga, masalah kesehatan mental Gen Z menguat karena hilangnya interaksi ini. Menurutnya, jika tak ada pandemi, mungkin juga Gen Z lebih siap menghadapi dunia kerja.
Setali tiga uang, Maulana Aji Negara, 24 tahun, mengakui pandemi berdampak kepada kultur kerja Gen Z. Laki-laki yang kini bekerja di perusahaan otomotif di Jakarta ini melihat moda interaksi saat ini lebih beragam. Makin akrabnya dunia kerja dengan teknologi, pekerjaan kini tak melulu dilakukan dari kantor, tapi juga rumah, kafe, atau di mana saja. Meskipun begitu, ia mengaku lebih menyukai interaksi langsung.
Tim Jurnalisme Konstruktif Tempo mengedarkan survei pada 1–7 November 2024 untuk mengetahui preferensi pekerjaan impian Gen Z. Dari 55 responden yang menjawab, 72,7 persen di antaranya mencari model kerja fleksibel yang dapat dikerjakan di mana saja. Hanya 27,3 persen responden yang masih menginginkan model kerja formal-kantoran.
Dwi Tamara, pegiat Koaksi Indonesia, mengungkap fleksibilitas menjadi salah satu pertimbangan utama Gen Z ketika memilih pekerjaan. Ada juga dua faktor lain: nilai atau makna dan ruang untuk tumbuh. “Enggak cuma gajinya aja. Pengembangan diri juga penting,” ujarnya, Kamis, 10 Oktober 2024.
Sayangnya, tak banyak perusahaan di Indonesia yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Menurut Dwi, jarang ada kantor yang sigap setelah Gen Z mengungkapkan kebutuhan mereka. Alih-alih menuntut perubahan karakteristik Gen Z, ia mengatakan pemerintah hendaknya memastikan industri memenuhi gaji yang layak dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Tak mendapati kebutuhan-kebutuhan mereka dipenuhi, banyak Gen Z akhirnya bermigrasi ke sektor informal. Rachma Tri Widuri, pengajar Politeknik Tempo, mengakui banyak anak didiknya kini ingin menjadi content creator karena lebih fleksibel dan menjanjikan secara materi. “Dalam sehari live bisa minimal Rp 2 juta sehari,” ujarnya, Kamis, 10 Oktober 2024.
Pandemi rupanya cukup menjadi titik tolak bagi sebagian orang mencoba memendapatkan kerja dengan gaji layak. Aji bercerita, saat Covid-19 menghantam, keuangannya kocar-kacir. Sumber penghasilan orang tuanya yang bekerja di sektor perhotelan otomatis berkurang. Tak patah akal, Aji mencari jalan keluar dengan terlibat dalam proyek-proyek riset di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada.
Kini setelah bekerja di Jakarta, Aji mengakui kondisi ekonomi keluarganya lebih membaik. Ia mampu membantu menghidupi empat orang lain di keluarganya. “Aku enggak bisa mengandalkan hal lain selain diriku sendiri,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2024.
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.
komentar
Jadi yg pertama suka