Ekonomi & Bisnis
Polemik PPN 12 Persen: Gerindra Singgung PDIP Inisiatornya, Ini Kata Partai Banteng
TEMPO BISNIS
| 6 jam yang lalu
7 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Gerindra dan PDIP terlibat polemik soal PPN 12 Persen. Perdebatan ini berawal dari pernyataan Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Wihadi Wiyanto, yang juga pimpinan Gerindra, bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai itu merupakan keputusan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021yang diinisiasi oleh PDI Perjuangan.
Ketua PDIP, Deddy Yevri Sitorus, menanggapi dengan mengatakan kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 tersebut melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deddy menyebut pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).
"Jadi, salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan," katanya seperti dikutip Antara.
Ia menjelaskan pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa ekonomi bangsa Indonesia dan kondisi global dalam kondisi yang baik-baik saja.
Namun, kata Deddy, seiring berjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen dikaji ulang.
Kondisi tersebut seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini terus naik.
"Jadi, sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," ujar Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, 22 Desember 2024.
Oleh karena itu, Deddy yang juga anggota Komisi II DPR RI itu menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12 persen hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.
"Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji," tuturnya.
Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo Subianto imbas kenaikan PPN 12 persen tersebut.
PDIP Dinilai Tidak Konsisten
Partai Nasional Demokrat (NasDem) menilai PDIP tidak konsiten terkait penolakan terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi NasDem Fauzi Amro mengatakan kebijakan tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang sebelumnya telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR, termasuk oleh Fraksi PDIP.
"Penolakan PDIP terhadap kebijakan ini bertentangan dengan keputusan yang telah diambil sebelumnya," kata Fauzi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, 23 Desember 2024.
Dia menjelaskan UU HPP merupakan hasil kesepakatan bersama yang disahkan melalui Rapat Paripurna DPR pada 7 Oktober 2021. Dalam pembahasannya, Panitia Kerja RUU HPP dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit.
Untuk itu, Fauzi menilai langkah PDIP mencerminkan sikap yang tidak konsisten karena telah mengkhianati atau mengingkari kesepakatan yang dibuat bersama antara Pemerintah dan DPR, termasuk Fraksi PDIP yang sebelumnya menyetujui kebijakan tersebut.
"Sikap ini seperti lempar batu sembunyi tangan dan berpotensi mempolitisasi isu untuk meraih simpati publik," tuturnya dikutip Antara.
Menurut Ketua DPP Partai NasDem tersebut, kenaikan PPN 12 persen merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan memperkuat penerimaan negara serta mendukung konsolidasi fiskal. Pemerintah juga telah memberikan pengecualian PPN nol persen untuk bahan pokok.
Adapun jenis barang dan jasa PPN nol persen mulai 1 Januari 2025, yakni barang meliputi beras, daging ayam ras, daging sapi, gula pasir, berbagai jenis ikan, telur ayam, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah.
Jasa yang tidak dikenai PPN 12 persen atau nol persen mulai Januari 2025 terdiri atas jasa pendidikan, layanan kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), serta pemakaian listrik dan air minum.
“Langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat,” ucap Fauzi.
Melempar Bola Panas
Wihadi Wiyanto mengatakan agar pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebab kebijakan itu menjadi payung hukum yang diputuskan PDIP pada periode 2019-2024.
Wihadi Wiyanto mengatakan agar pihak-pihak tertentu untuk tidak menggiring isu bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan keputusan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebab kebijakan itu menjadi payung hukum yang diputuskan PDIP pada periode 2019-2024.
"Jadi apabila sekarang ada informasi ada hal-hal yang mengkaitkan ini dengan pemerintah Pak Prabowo yang seakan-akan memutuskan itu adalah tidak benar, yang benar adalah UU ini produk dari pada DPR yang pada saat itu diinisiasi PDI Perjuangan dan sekarang Pak Presiden Prabowo hanya menjalankan," ucapnya.
Dia menilai sikap PDIP saat ini seperti upaya "melempar bola panas" kepada pemerintahan Presiden Prabowo, padahal kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam UU HPP merupakan produk DPR periode sebelumnya dari PDIP.
"Jadi kami dalam hal ini melihat bahwa sikap PDIP ini adalah dalam hal PPN 12 persen adalah membuang muka, jadi kami ingatkan bahwa apabila ingin mendukung pemerintahan maka tidak dengan cara seperti ini, tetapi bila ingin melakukan langkah-langkah oposisi maka ini adalah hak daripada PDIP," tuturnya.
Dia pun menegaskan jika Presiden Prabowo sedianya sudah "mengulik" kebijakan itu agar tidak berdampak pada masyarakat menengah ke bawah, salah satunya dengan menerapkan kenaikan PPN tersebut dikenakan terhadap barang-barang mewah.
"Sehingga pemikiran Pak Prabowo ini bahwa kalangan menengah bawah itu tetap terjaga daya belinya dan tidak menimbulkan gejolak ekonomi, ini adalah merupakan langkah bijaksana dari Pak Prabowo," kata dia.
Pilihan Editor Strategi Perusahaan agar Pekerja Gen Z Bertahan
komentar
Jadi yg pertama suka