Ekonomi & Bisnis
Sejarah PPN di Indonesia dan Perkembangannya Sejak Era Soeharto
TEMPO BISNIS
| Desember 31, 2024
13 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak serta dikenakan atas berbagai jenis barang dan jasa. Namun, peningkatan tarif PPN dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, seperti penurunan daya beli masyarakat dan inflasi.
PPN yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Value-Added Tax (VAT) diterapkan di hampir seluruh negara di dunia. Lantas, bagaimana sejarah perkembangan PPN di Indonesia?
Sejarah PPN di Indonesia
Menurut Hari Sugiharto melalui modul yang diunggah di laman repository.ut.ac.id, PPN mulai diterapkan pada 1 April 1985. Dasar dari pengenaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 (dikenal dengan nama UU PPN 1984) sebagai reformasi dari Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) 1951.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertimbangan yuridis dari pemberlakuan UU PPN 1984, karena negara Republik Indonesia (RI) menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga negara, yang bertindak sebagai sarana peran pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Kemudian, sistem perpajakan yang menjadi dasar pemungutan pajak yang kala itu berlaku di era Presiden Soeharto dianggap tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. Aspek-aspek ekonomi sosial yang dimaksud mencakup kegotongroyongan nasional maupun laju pembangunan yang sudah tercapai.
Selain itu, ketentuan-ketentuan pajak tidak langsung yang berlaku dalam sistem perpajakan nasional dinilai belum mampu menggerakkan peran semua lapisan pengusaha kena pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengatur kembali sistem PPN barang dan jasa serta pajak penjualan atas barang mewah.
Perkembangan PPN di Indonesia
Perubahan mekanisme sistem PPn menjadi PPN disebut mempunyai perbedaan karakteristik. Perbedaan mendasar yang jelas terlihat adalah pengenaan yang dilakukan secara bertahap sejak jalur produksi hingga distribusi, yang dikenal sebagai multi-stage tax.
Berikut perkembangan PPN atas barang dan jasa kena pajak di Indonesia:
Periode 1 April 1985 - Akhir Desember 1994
Pada awal pemberlakuan PPN, barang kena pajak adalah barang dari hasil proses pengolahan (pabrikasi) yang diatur dalam UU PPN 1984. Pengenaannya kala itu lebih ditekankan pada pabrik dan atas impor, meliputi pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan pabrikan dan importir, bertindak sebagai distributor atau agen utama dari pabrikan atau importir, serta pemegang hak atau hak menggunakan paten dan merek dagang.
Selain itu, PPN juga berlaku untuk penyerahan barang kena pajak oleh pedagang besar yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1988 mulai 27 Desember 1988. Selanjutnya, penerapan pajak atas penyerahan barang yang dilakukan pedagang eceran mulai berlaku sejak 1 April 1992 melalui PP Nomor 75 Tahun 1991.
Sementara itu, jenis jasa yang menjadi sasaran pengenaan PPN, awalnya hanya yang dilakukan oleh pemborong atau kontraktor sebagaimana diatur dalam PP Nomor 22 Tahun 1985. Pemborong dan kontraktor yang dimaksud adalah yang berada dalam lingkup pembangunan, perbaikan, atau pemugaran bangunan atau barang tidak bergerak lainnya.
Lalu, dengan diterbitkannya PP Nomor 28 Tahun 1988, jasa kena pajak dengan menggunakan negative list. Peraturan yang berlaku sejak 27 Desember 1988 tersebut dikecualikan untuk jasa seperti pelayanan dan perawatan kesehatan, sosial, pos dan giro, perbankan, asuransi, keagamaan, pendidikan, serta sebagainya.
Periode 1 Januari 1995 - Akhir Desember 2000
Melalui perubahan pertama UU PPN 1984 (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994), pengenaan PPN diperluas hingga ke level pedagang eceran. Tak hanya itu, barang kena pajak tidak lagi ditentukan oleh proses pabrikasi, tetapi kelompok barang dikenai PPN meskipun bukan baru dari pabrikan, termasuk di dalamnya barang tidak berwujud.
Dalam perubahan pertama, pengenaan PPN terhadap barang juga diatur secara negative list. Jenis barang yang dikecualikan, di antaranya barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkapan/perburuan, penangkaran, budidaya perikanan, pertambangan, pengeboran, penggalian, kebutuhan pokok, dan sebagainya.
Berikutnya, PPN pun turut dikenakan atas kegiatan membangun sendiri. Batasan kegiatan membangun sendiri yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Nomor 595/KMK.04/1995 adalah bangunan tempat tinggal atau tempat usaha, luas bangunan lebih dari sama dengan 400 meter persegi, dan bersifat permanen.
Sementara itu, PP Nomor 50 Tahun 1994 menetapkan jenis jasa yang tidak kena PPN, meliputi di bidang pelayanan kesehatan medik, pelayanan sosial, pengiriman surat, asuransi, perbankan, keagamaan, pendidikan, kesenian, penyiaran, dan sebagainya.
Periode 1 Januari 2001 - Akhir Maret 2010
Dengan amanat perubahan kedua UU PPN 1984 (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000), empat barang yang sebelumnya tidak kena pajak menjadi sasaran PPN, meliputi barang hasil pertanian, perkebunan, atau kehutanan yang diambil langsung; hasil peternakan, penangkapan, perburuan, atau penangkaran yang diambil langsung; serta hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung.
Namun, PP Nomor 12 Tahun 2001 menyebut kelompok barang dari petani atau kelompok tani adalah barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis, yang atas penyerahannya dibebaskan dari PPN. Kemudian, berkat PP Nomor 7 Tahun 2007, pembebasan PPN tidak hanya terbatas dari petani atau kelompok tani saja, tetapi barang hasil pertanian yang bersifat strategis.
Sementara itu, PP Nomor 144 Tahun 2000 menetapkan kembali jenis jasa tidak kena pajak, meliputi pelayanan kesehatan medik, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, perbankan, keagamaan, pendidikan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, dan sebagainya.
Periode April 2010 - Akhir Maret 2022
Sejak perubahan ketiga UU PPN 1984 (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009), jenis barang yang bukan barang kena pajak tidak lagi ditetapkan melalui PP. Tidak ada penambahan kelompok barang tidak kena pajak, tetapi terdapat penambahan jenis barang, terutama pada kelompok barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat.
Sementara itu, penentuan jenis jasa yang tidak kena pajak ditetapkan sebanyak 17 jenis. Beberapa di antaranya adalah pelayanan kesehatan medik, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, keuangan, keagamaan, pendidikan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, dan sebagainya.
Periode April 2022 - Desember 2024
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), jenis barang yang tidak dikenai PPN disebutkan berupa makanan dan minuman dari hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; serta uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Sementara jenis jasa yang tidak dikenai pajak, antara lain kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintah secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, hingga jasa boga atau katering.
Besaran tarif PPN yang berlaku mulai 1 April 2022 disebutkan sebesar 11 persen. Sementara pemberlakuan paling lambat pada 1 Januari 2025 adalah sebesar 12 persen.
“Tarif PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen,” bunyi Pasal 7 ayat (3) Bab IV Pajak Pertambahan Nilai UU HPP.
komentar
Jadi yg pertama suka