Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Apa Saja Warisan Ketahanan Pangan Jokowi untuk Prabowo?
CNN EKONOMI   | Januari 2, 2025
11   0    0    0
Jakarta, CNN Indonesia --
Dalam beberapa hari ke depan usia pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan menyentuh 100 hari.
Sejak pertama kali dilantik, 20 Oktober 2024, sejumlah target dan hal-hal yang telah dan akan dilakukan Prabowo dan Kabinet Merah Putih hingga 2029 sudah disampaikan ke publik.
Di bidang pangan, misalnya, Prabowo ingin Indonesia berswasembada pangan secepat-cepatnya. Tafsir 'secepat-cepatnya' itu telah diterjemahkan sendiri oleh Prabowo dan kabinetnya: target swasembada dimajukan dari 2029 menjadi 2028, lalu dipercepat lagi jadi di 2027.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, apa warisan penting yang diterima Prabowo dari Joko Widodo yang telah menduduki kursi Presiden 10 tahun sebelumnya?
Menilai 'warisan' itu penting karena ini bakal menjadi modal Prabowo selama berkuasa 5 tahun ke depan. Bukankah Prabowo telah berikrar bahwa pemerintahannya adalah keberlanjutan dari pemerintahan Jokowi? Selain itu, menimbang "warisan" juga perlu agar pemerintahan baru tidak memulai dari awal alias bekerja dari nol.
Namun demikian, artikel ini tidak akan membahas 'warisan' Jokowi dalam swasembada pangan. Artikel ini akan mengulas 'warisan' Jokowi kepada Prabowo di bidang ketahanan pangan? Dari sini Prabowo bisa melakukan perbaikan.
Mengapa ketahanan pangan dan bukan swasembada pangan?
UU Pangan Nomor 18/2012 mengharuskan negara ini mencapai kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. Keduanya menjadi spirit dan ruh bagaimana penyelenggaraan pangan dilakukan. Untuk mengukur kinerja penyelenggaraan pangan digunakan indikator pencapaian ketahanan pangan, bukan swasembada pangan. Ini mencakup tiga hal: ketersediaan, akses pangan, dan pemanfaatan/konsumsi pangan.
Ketika Badan Pangan Nasional belum lahir, kinerja capaian ketahanan pangan itu rutin dilaporkan oleh Badan Ketahanan Pangan, salah satu eselon I di Kementerian Pertanian. Kini tugas itu diambilalih Badan Pangan Nasional.
Melalui tiga indikator itu akan bisa dilihat sejauh mana pencapaian ketahanan pangan sebuah pemerintahan.
Bagi masyarakat awam cara mengukurnya mudah: pangan mesti tersedia cukup hingga di tingkat individu.
Baik jumlah, mutu, keamanan (dari cemaran kimia-biologi dan tak bertentangan dengan agama/keyakinan/budaya), beragam, bergizi, merata, hingga terjangkau. Itu wajib dan mutlak karena perintah undang-undang. Ujung dari semua ini, nantinya status gizi individu dan masyarakat akan baik, bisa hidup sehat, aktif, dan produktif berkelanjutan.
Pendek kata bakal tercipta SDM yang unggul.
Selama Presiden Jokowi (2014-2023) berkuasa ketersediaan bahan makanan yang bisa dikonsumsi per kapita per hari bagi semua warga amat melimpah. Ketersediaan ini bisa diukur dalam bentuk energi dan protein. Ketersediaan energi antara 2.800-3.400 kilo kalori/kapita/hari, sedangkan ketersediaan protein antara 76-85 gram/kapita/hari. Amat besar.
Ketersediaan ini melampaui dari rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Tahun 2004 (2.000 kilo kalori/kapita/hari untuk energi dan 50 gram/kapita/hari buat protein) dan WNPG XI Tahun 2018 (2.100 kilo kalori/kapita/hari untuk energi dan 57 gram/kapita/hari untuk protein). Rekomendasi dua WNPG itu dipakai di era Jokowi.
Suasana perdagangan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Kamis, 20 Juni 2024. Harga sejumlah komoditas pangan terpantau naik baik sebelum maupun sesudah Hari Raya Idul Adha 1445 Hijriah atau 2024. Bahkan sejumlah komoditas harganya berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan. CNN Indonesia/Safir MakkiSalah satu aktivitas di sebuah pasar. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Ketersediaan yang melimpah ini sumber utamanya dari produksi domestik. Di era Jokowi, enam komoditas ditargetkan swasembada: beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih. Tak seluruhnya tercapai.
Bahkan, capaian swasembada kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih malah menjauh dari target. Untuk mengisi kekurangan, diisi dari impor.

Komoditas impor

Selama Jokowi berkuasa, impor komoditas pangan melonjak hampir dua kali lipat: dari US$10,07 miliar menjadi US$18,76 miliar. Impor delapan komoditas pangan penting, yaitu beras, jagung, gandum, kedelai, gula mentah, bawang putih, ubi kayu, dan kacang tanah, melonjak hampir 9 juta ton: dari 20,55 juta ton menjadi 29,01 juta ton.
Masalahnya, ketersediaan pangan yang melimpah itu tak terbagi merata ke semua mulut warga. Pangan tidak mengalir kepada yang memerlukan.
Pangan hanya menuju ke mereka yang berduit. Karena itu apa yang dinubuatkan oleh peraih nobel ekonomi 1998 Amartya Sen benar adanya: akses dan kebebasan lebih penting ketimbang ketersediaan. Apa gunanya pangan (tersedia) amat melimpah apabila warga tidak bisa mengakses dan mengonsumsinya? Hal ini terkait akses fisik dan ekonomi atau daya beli.
Bisa saja warga mampu membeli, tapi kalau secara fisik pangan tak tersedia mustahil bisa dikonsumsi. Atau pangan bisa teronggok di muka tapi kalau tidak bisa beli ya hanya menelan ludah.
Bagi mereka yang bukan wilayah produsen, ketersediaan pangan akan ditentukan jangkauan distribusi. Sepanjang pendistribusian pangan mampu menjangkau mereka itu berarti akses secara fisik telah terpenuhi.
Sialnya, wilayah Indonesia bukan hanya luas tapi juga amat beragam.
Bahkan ada daerah yang masuk kategori tertinggal, terdepan, dan terluar. Perbedaan akses (fisik dan ekonomi) inilah yang bisa menjelaskan mengapa di tengah ketersediaan energi dan protein yang melimpah masih ada 23 dari 34 provinsi dengan angka kecukupan energi di bawah 2.100 kilo kalori/kapita/hari dan 5 provinsi dengan kecukupan protein di bawah 57 gram/kapita/hari pada 2023 (Bapanas, 2024).
Bagaimana dengan daya beli? ...
Meskipun bukan satu-satunya, asupan pangan menentukan status gizi seseorang. Bersama-sama penyakit infeksi, konsumsi pangan akan menentukan kondisi status gizi masyarakat. Hal itu bakal tecermin dari berat badan atau tinggi badan sesuai umur.
Karena asupan pangan warga yang berbeda-beda, saat ini Indonesia menghadapi tiga beban malanutrisi yang berat: gizi kurang (underweight, wasting, dan stunting), gizi lebih (obesitas dan overweight), dan defisiensi zat gizi mikro seperti kurang Iodium, zat besi, dan vitamin A (Khomsan dkk, 2023).
Dari tahun 2022 ke 2023, stunting hanya turun 0,1 persen menjadi 21,5 persen, underweight turun dari 17,1 persen jadi 15,9 persen, bahkan wasting dan overweight malah naik masing-masing dari 7,7 persen jadi 8,5 persen dan dari 3,5 persen jadi 4,2 persen.
Problem gizi kurang bukan semata-mata karena pola asuh, literasi gizi, dan akses pada air bersih, tapi juga karena daya beli. Tanpa banyak disadari publik, karena problem akses ekonomi ada sebanyak 183,7 juta orang Indonesia (68 persen) pada 2021 tidak mampu membeli bahan pangan bergizi seimbang.
Persentase ini tidak jauh berbeda dari data Bank Dunia (52 persen) dan FAO (71 persen). Menurut hasil hitungan tim jurnalisme data Kompas, 9 Desember 2022, untuk beli bahan pangan bergizi seimbang itu Rp22.126/orang/hari. Tidak mahal bagi sebagian orang, tapi sulit dibeli oleh mereka yang miskin dan rentan.
Menggunakan paritas daya beli, harga pangan bergizi di Indonesia mencapai US$4,47, lebih mahal dari tetangga terdekat di Asia Tenggara: Thailand (US$4,3), Filipina (US$4,1), Vietnam (US$4), dan Malaysia (US$3,5).
Siswa SMP Negeri 20 Tasikmalaya menunjukan tablet tambah darah saat gerakan aksi bergizi serentak di Kawalu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (12/12/2024). Kegiatan yang digelar Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya dengan sarapan bergizi seimbang dan pemberian tablet tambah darah itu sebagai pencegahan stunting di usia remaja. ANTARA FOTO/Adeng BustomiSiswa SMP Negeri 20 Tasikmalaya menunjukan tablet tambah darah saat gerakan aksi bergizi untuk cegah stunting (Foto: ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI)
Merujuk UU Pangan dan UU Perdagangan No. 7/2014 dan aturan turunannya, sebenarnya negara ini memiliki dua instrumen penting untuk memastikan setiap warga memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan: cadangan pangan dan regulasi harga.
Masalahnya, negara justru lemah di dua instrumen penting itu.
Betul sudah mulai dibenahi di era Presiden Jokowi, tapi hasilnya masih jauh dari memadai. Cadangan pangan akan memungkinkan distribusi pangan ke seluruh wilayah, termasuk wilayah non-produsen, sehingga bisa diakses oleh warga.
Masalahnya, cadangan yang memadai hanya di beras. Dengan cadangan sekitar 1,2 juta ton, pemerintah melalui BULOG bisa mengintervensi pasar manakala mekanisme pasar gagal bekerja dengan baik, misal harga naik.
Nasib berbeda jika harga telur, bawang putih atau cabai naik, tidak ada cadangan yang bisa digerakan untuk mengintervensi pasar. Warga sebagai konsumen hanya pasrah.
Nasib yang sama terjadi pada regulasi harga. Badan Pangan Nasional sampai saat ini menetapkan dua jenis harga pangan: harga acuan dan harga eceran tertinggi (HET).

Harga pangan stabil?

Harga acuan ada dua: harga acuan pembelian di produsen dan harga acuan penjualan di konsumen. Harga acuan bertujuan melindungi produsen dan konsumen.
Karena sifatnya acuan, jika tidak diacu oleh pelaku usaha tidak ada sanksinya. Jadi, antara ada harga acuan dan tidak ada, sama saja. Tidak salah apabila disebut bagai macan ompong. Pada akhirnya, tujuan untuk melindungi produsen dan konsumen ya hanya di atas kertas.
Sebaliknya, HET bersifat mengikat publik. Jika tidak dipatuhi, menurut aturan, ada sanksi yang siap menjerat. Ini berlaku untuk beras, gula, dan MinyaKita. Sama seperti cadangan pangan, efektivitas HET sebagai instrumen menstabilkan harga juga rendah.
Namun, sudah berbulan-bulan harga beras, gula dan MinyaKita nangkring di atas HET, tapi tak ada satu pun yang ditindak. Lalu apa gunanya aturan itu? Lebih dari itu, harga di atas HET ini mengganggu daya beli warga.
Inilah warisan ketahanan pangan Presiden Jokowi kepada Presiden Prabowo.
Terang benderang ada masalah akses fisik dan ekonomi. Kalau Presiden Prabowo lebih fokus kepada swasembada pangan, perlu juga menggeser perhatian ke akses yakni fisik dan ekonomi.
Swasembada yang secara sederhana dimaknai pasokan pangan melimpah dari produksi dalam negeri tidak akan banyak artinya jika tak ada jaminan akses  semua warga kepada pangan yang bejibun itu.
Pada titik ini, penting bagi Prabowo untuk memperbaiki daya beli, sekaligus memastikan setiap warga punya akses yang adil dan merata.

komentar
Jadi yg pertama suka