Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Prabowo akan Perluas Sawit, Pengamat: Hanya Untungkan Pebisnis dan Ancam Lingkungan
TEMPO BISNIS   | Kemarin, 13:00
4   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo menyatakan Indonesia perlu menambah perkebunan kelapa sawit karena tanaman itu merupakan produk strategis negara. Prabowo juga mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir soal deforestasi karena sawit termasuk pohon yang menyerap karbon dioksida.
Pengamat politik lingkungan dari Konsorsium Peneliti dan Pemberdayaan untuk Kesejahteraan (KIPRAH), Ahalla Tsauro menyatakan bahwa pernyataan Praabowo keliru. Sebab, bisnis perkebunan sawit telah berperan besar dalam deforestasi selama bertahun-tahun. “Hal ini berdampak pada degradasi lingkungan dan mengancam biodiversitas alam serta kepunahan,” kata Ahalla kepada Tempo, Senin 6 Januari 2024.
Selain itu, Ahalla menilai pernyataan Prabowo soal sawit termasuk pohon juga salah kaprah. Pernyataan ini dianggap menggiring opini publik bahwa sawit itu layaknya tanaman lainnya dengan menitikberatkan fungsi penyerapan karbon dioksida. “Penggiringan opini ini mirip dengan kampanye #SawitBaik di era Jokowi yang justru menjustifikasi pembebasan hutan untuk perkebunan sawit yang lebih luas,” papar Ahalla. 
Dia menambahkan bahwa sawit memang jadi salah satu sumber devisa negara utama karena tingkat penjualannya tinggi. Namun, bisnis perkebunan ini dinilai perlu ada kendali dan kontrol agar tidak menimbulkan dampak negatif, khususnya bagi lingkungan. 
Ahalla menjelaskan bahwa permasalahan mulai muncul ketika ada cara pandang yang menyamakan perkebunan dengan hutan seperti pernyataan Prabowo. Menurut dia, perkebunan berbeda dengan perhutanan dari sisi fungsi. “Perkebunan sangat berorientasi pada profit melalui ekspor sawit mentah kepada perusahaan yang membutuhkan. Sedangkan hutan memiliki fungsi preservasi maupun sosiohistoris bagi masyarakat yang tinggal di sana,” jelas alumnus National University of Singapore (NUS) itu.
Karenanya, Ahalla mengaku tidak setuju jika perkebunan sawit akan diperluas karena permintaan pasar yang tinggi. Sebab, bisnis perkebunan ini dinilai hanya menguntungkan segelintir elit dan pebisnis saja, sementara masyarakat sekitar hanya mendapatkan keuntungan sangat minim. 
Tak hanya itu, perluasan perkebunan sawit secara masif dinilai bisa mengancam hutan beserta beragam biodiversitasnya. Masyarakat pun akan rentan mengalami bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. “Ini sama seperti perluasan area untuk pertambangan nikel/batu bara yang seringkali tidak memperhatikan aspek sosial dan budaya dari tempat yang dipaksakan untuk perluasan wilayah industri,” papar Ahalla.
Ahalla memberi contoh negara Kolombia yang sudah mengalami banyak dampak negatif usai memperluas perkebunan sawit. Mulai dari konflik atas lahan, polusi air, disrupsi atau perubahan ekosistem, dan berbagai konflik sosial lainnya. “Hal serupa mulai terjadi di Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Papua Barat,” tandasnya.
Oleh karena itu, jika perluasan sawit direalisasikan, Ahalla menyimpulkan pemerintah mengabaikan alternatif komoditas lain selain minyak sawit. Selain itu, pemerintah terkesan anti-sains karena tidak berusaha melibatkan dan meminta pendapat ilmuwan untuk pembangunan yang manusiawi, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
komentar
Jadi yg pertama suka