Ekonomi & Bisnis
Ini Alasan Pemerintah Prioritaskan Program 3 Juta Rumah di Pedesaan
TEMPO BISNIS
| 11 jam yang lalu
4 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah membeberkan alasan program 3 juta rumah lebih banyak dialokasikan di wilayah pedesaan. Adapun dalam program 3 juta rumah ini, pedesaan mendapat jatah 2 juta rumah sedangkan perkotaan mendapat jatah satu juta.
Menurut Fahri, pengalokasian ini memperhitungkan jumlah desa yang lebih banyak ketimbang kota. Ia berujar, di Indonesia ada 98 kota dan kurang lebih 75.827 desa. “Dari 75 ribu desa itu, kalau kami identifikasi, pada dasarnya masyarakat mengharapkan perbaikan rumah. Itu yang lebih masif,” kata Fahri saat ditemui usai rapat koordinasi di Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) pada Rabu, 8 Januari 2025.
Program 3 juta rumah per tahun merupakan program yang dijanjikan Presiden Prabowo sejak kampanye Pilpres 2024 lalu. Program ini diharapkan bisa menyelesaikan persoalan backlog perumahan yang saat ini masih tercatat 9,9 juta unit. Termasuk mengatasi persoalan rumah tidak layak huni yang jumlahnya mencapai 26 juta unit.
Meski begitu, sebelumnya, Dosen Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga menyarankan pemerintah tidak terburu-buru mengeksekusi program ini. Menurut dia, Menteri PKP Maruarar Sirait bisa mengambil waktu satu tahun untuk mematangkan program dan membentuk rencana induk. Terlebih untuk mengeksekusi program di daerah-daerah, perlu menyamakan persepsi pemerintah pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga memudahkan eksekusi program.
Lebih lanjut ihwal program 2 juta rumah di pedesaan, Nirwono menyarankan pemerintah berfokus pada pembangunan kembali atau revitalisasi rumah tradisional. Ia berujar, arsitektur tradisional penting dipertahankan. “Itu akan lebih berkelanjutan. Saya melihat ini menjadi peluang besar,” kata Nirwono kepada Tempo, Rabu, 6 November 2024.
Nirwono juga mengatakan pembangunan kembali rumah tradisional bisa menjadi potensi wisata di pedesaan. Artinya, ada peluang ekonomi yang manfaatnya bisa dirasakan masyarakat. Ia pun menyarankan agar pembangunan ini tidak diserahkan ke pengembang tetapi ke masyarakat. Sebab, hanya warga lokal yang memahami arsitektur tradisional masing-masing.
“Pengembang, karena mengejar target angka, akhirnya membangun rumah yang tipikalnya sama. Atap genteng, lantai keramik,” ujar Nirwono. Sementara, di sejumlah daerah di tanah air, seperti Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, rumah tradisional tidak dibangun dengan konsep demikian.
Dalam konteks pembangunan rumah tradisional ini, Nirwono mengatakan pemerintah dan pengembang bisa berperan sebagai pendamping. “Diarahkan soal sanitasi, sirkulasi udara yang baik, dibantu akses listrik,” ujar Nirwono.
komentar
Jadi yg pertama suka