Ekonomi & Bisnis
Kementan Sampaikan Belum Ada Skema Ganti Rugi untuk Kasus Penyakit Mulut dan Kuku tahun Ini
TEMPO BISNIS
| 6 jam yang lalu
4 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan belum ada skema ganti rugi bagi peternak yang hewan ternaknya mati akibat penyakit mulut dan kuku (PMK) pada tahun ini. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan Agung Suganda saat konferensi pers di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan hal itu karena status PMK di Indonesia saat ini adalah 'tertular' berbeda dengan situasi pada tahun 2022.
"Belum ada skema untuk itu (ganti rugi) karena memang kondisinya status kita adalah status tertular. Jadi, beda dengan pada kondisi PMK tahun 2022 dari kondisi bebas kemudian ada wabah," kata dia, Sabtu, seperti dilansir dari Antara.
Pada 2022, kata Agung, ternak yang mati akibat PMK sangat tinggi sehingga pemerintah pun menyediakan ganti rugi sebagai pengganti pemotongan paksa untuk setiap ternak yang sudah tidak bisa tertolong. "Untuk tahun ini karena memang bukan wabah, kemudian juga kami melihat kematian secara nasional juga tidak terlalu banyak, sehingga sampai saat ini belum ada alokasi untuk ganti rugi," ujar dia.
Karena saat ini kasus PMK di RI telah menunjukkan tren penurunan, menurut Agung, pemerintah lebih berfokus untuk penyediaan dan distribusi vaksin, obat, vitamin, dan desinfektan guna mencegah penyebaran lebih lanjut. "Saya pikir para peternak kita juga sudah punya pengalaman sebetulnya terkait dengan kasus PMK yang terjadi di tahun 2022, yang penting tidak boleh panik," ucap dia.
Agung juga mengingatkan peternak untuk tidak menjual ternak yang sakit karena dapat mempercepat penyebaran PMK. Ia meminta setiap muncul ternak sakit agar segera dilaporkan sehingga mendapatkan penanganan cepat dari instansi terkait baik di level provinsi maupun kabupaten/kota bersama perguruan tinggi dan stakeholder lainnya.
Agung menjelaskan bahwa kembali merebaknya kasus PMK sejak akhir 2024 mulanya disebabkan oleh kepanikan dari para peternak kala ternaknya terjangkit penyakit. Alih-alih melakukan isolasi dan pengobatan, ternak yang sakit justru dijual ke pasar hewan, sehingga mempercepat penyebaran virus PMK. "Kami mencatat penyebaran ini terjadi karena adanya kepanikan dari para peternak. Pada saat ternaknya sakit, mereka tidak melakukan isolasi dan pengobatan, justru dijual ke pasar-pasar hewan kita, dan inilah yang menyebabkan penularan penyebaran PMK ini," beber Agung.
Menurut Agung, pemerintah telah menyediakan 4 juta dosis vaksin PMK yang akan didistribusikan ke daerah-daerah berisiko tinggi, termasuk Jawa Tengah dan DIY. Pihaknya juga telah memetakan wilayah penanganan PMK dalam tiga zona, yakni zona merah atau wilayah kasus kategori tinggi meliputi Provinsi Lampung, Pulau Jawa, Bali, dan NTB.
Berikutnya, zona kuning ( kasus sedang-tinggi) meliputi Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi, dan zona hijau (bebas kasus) mencakup NTT, Pulau Maluku, dan Pulau Papua. "Yang zona hijau inilah yang harus kita jaga agar PMK tidak masuk," ucapnya.
Sebagai upaya pengendalian kasus, Kementan RI telah membentuk Satgas PMK Nasional dengan melibatkan sejumlah asosiasi peternak dan asosiasi profesi seperti Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) serta Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). "Insya Allah kita bisa melewati ini dan sekali lagi kita siap menghadapi puasa dan Lebaran tahun 2025 dengan ketersediaan daging sapi yang cukup termasuk juga untuk Idul Adha," ujar Agung Suganda.
komentar
Jadi yg pertama suka