Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Penghentian Impor Pangan Pemerintahan Prabowo, Dosen dan Peneliti UII: Langkah Ambisius atau Bumerang Ekonomi?
TEMPO BISNIS   | 8 jam yang lalu
1   0    0    0
PEMERINTAH Indonesia berkomitmen menghentikan impor pangan meliputi empat komoditas, yaitu beras, jagung, gula konsumsi, dan garam konsumsi pada 2025. Penghentian impor pangan ini bertujuan untuk mencapai swasembada pangan yang sejalan dengan visi pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Data terbaru menunjukkan, produksi beras nasional pada 2024 diperkirakan mencapai 30,34 juta ton yang mengalami penurunan sekitar 2,43 persen dibandingkan 2023. Data ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam memastikan kecukupan produksi domestik. Sementara itu, impor jagung meningkat menjadi 1,3 juta ton pada Januari-November 2024 yang mengindikasikan ketergantungan signifikan terhadap pasokan luar negeri.
Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia, Listya Endang Artiani, menilai, pada tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, tantangan dalam kebijakan pangan semakin kompleks.
Salah satu isu utama adalah alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian yang mengancam kapasitas produksi domestik. Selain itu, penerapan teknologi pertanian belum merata dan petani memiliki akses terbatas terhadap input pertanian, seperti pupuk dan benih unggul, menjadi hambatan signifikan meningkatkan produktivitas.
Pemerintah meluncurkan beberapa program ambisius untuk mengatasi tantangan tersebut, termasuk menyediakan makanan gratis untuk lebih dari 80 juta anak sekolah guna mengatasi malnutrisi dan stunting.
"Program ini mulai mendistribusikan 500.000 paket makanan dari 190 pusat distribusi pada hari pertama pelaksanaannya. Langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan kualitas sumber daya manusia di sektor pangan," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Kamis,9 Januari 2024. 
Proyeksi pada 2025 menunjukkan tantangan besar dalam mencapai target swasembada pangan. Berdasarkan analisis dari Kementerian Pertanian, Indonesia membutuhkan peningkatan produktivitas padi mencapai 60 juta ton gabah kering giling (GKG) per tahun untuk memenuhi kebutuhan domestik. Selain itu, kebutuhan jagung domestik, yang sebagian besar digunakan untuk pakan ternak, diproyeksikan mencapai 20 juta ton.
"Sementara itu, kebutuhan gula konsumsi diperkirakan mencapai 3,4 juta ton dan kebutuhan garam konsumsi sekitar 4,5 juta ton," kata Listya. 
Namun, data menunjukkan bahwa kapasitas produksi sekarang masih jauh dari angka kebutuhan tersebut. Misalnya, garam produksi domestik pada 2024 hanya mencapai sekitar 2 juta ton dengan kualitas yang sebagian besar belum memenuhi standar industri. Sementara itu, Indonesia masih bergantung pada gula konsumsi impor sekitar 30 persen dari kebutuhan nasional. Dari contoh tersebut, pemerintah perlu upaya masif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi domestik. 
Menurut Listya, pemerintah juga menghadapi risiko besar, jika penghentian impor pangan tidak dilakukan bersamaan dengan peningkatan kapasitas produksi. Kesenjangan antara permintaan dan penawaran ini berpotensi mendorong kenaikan harga pangan secara signifikan yang memicu inflasi. Pada 2023, sektor pangan menyumbang lebih dari 20 persen inflasi nasional yang menunjukkan sensitivitas harga pangan terhadap kondisi pasokan.
"Jika pasokan domestik gagal mencukupi kebutuhan, dampaknya tidak hanya akan dirasakan pada harga, tetapi dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan," kata dia. 
Kepemimpinan Presiden Prabowo pada 2025 akan menghadapi ujian berat memastikan keberhasilan program swasembada pangan. Proyeksi menunjukkan, Indonesia memerlukan peningkatan produksi beras hingga 3 persen per tahun untuk mencapai target swasembada.
Namun, alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 100.000 hektare per tahun menjadi tantangan besar mewujudkan target ini. Selain itu, pengembangan teknologi pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas 30 persen masih terbatas pada wilayah tertentu yang meninggalkan kesenjangan besar antara daerah maju dan tertinggal.
Pada konteks distribusi pangan, pemerintah memroyeksikan investasi hingga Rp15 triliun untuk membangun infrastruktur penyimpanan dan distribusi pada 2025. Namun, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada implementasi yang konsisten dan pengawasan ketat. Pemerintah juga menghadapi tantangan memastikan keberlanjutan program subsidi dan insentif bagi petani yang memerlukan alokasi anggaran hingga Rp25 triliun pada 2025.
"Jika kebijakan ini berhasil, produktivitas beras diproyeksikan dapat meningkat hingga 5 persen, sedangkan jagung meningkat hingga 10 persen," ujar Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu. 
Dengan proyeksi ini, 2025 akan menjadi tahun krusial untuk menentukan arah kebijakan pangan nasional, termasuk dengan penghentian impor pangan. Keberhasilan atau kegagalan program swasembada pangan ini tidak hanya akan memengaruhi stabilitas harga dan inflasi, tetapi masa depan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
"Proyeksi 2025 menunjukkan bahwa kebijakan pangan akan menjadi ujian nyata bagi kemampuan pemerintahan Prabowo untuk mewujudkan swasembada pangan dan menjaga stabilitas sosial dan ekonomi nasional," kata Listya kepada Tempo.co.
komentar
Jadi yg pertama suka