Ekonomi & Bisnis
Pagar Laut Sepanjang 30 KM di Perairan Tangerang, Segini Prakiraan Biaya Pembuatannya dan Miliaran Kerugian Nelayan
TEMPO BISNIS
| 6 jam yang lalu
5 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Polemik baru muncul di awal tahun. Pagar laut terdiri dari jajaran bambu menancap di lepas pantai sepanjang 30,16 kilometer (km) di wilayah Kabupaten Tangerang, Banten. Problem muncul lantaran pagar terucuk tersebut tak berizin dan tidak diketahui siapa yang mendirikan.
Kini, sebuah kelompok masyarakat bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengakui merekalah dalangnya. Masyarakat setempat disebut urunan untuk menegakkan pagar “pencegah abrasi” itu. Tetapi, klaim itu disebut tak masuk akal. Sebab, biayanya ditaksir tembus belasan miliar rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan pagar laut itu tersiar setelah nelayan setempat mengeluh lantaran terganggu. Mereka mengaku harus memutari pagar hingga 1.5 jam untuk mencari ikan. Hal ini membuat sejumlah pihak turun ke lapangan, termasuk anggota DPR dan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Hasil investasi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten mengungkap adanya pemagaran terbentang dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji di perairan Tangerang sepanjang 30,16 km. Pagar laut itu dari bambu dengan ketinggian rata-rata 6 meter. Di atasnya, dipasang anyaman bambu, paranet dan pemberat berupa karung berisi pasir.
Panjang 30,16 km itu meliputi 16 kecamatan dengan rincian tiga desa di Kecamatan Kronjo; tiga desa di Kecamatan Kemiri; empat desa di Kecamatan Mauk; satu desa di Kecamatan Sukadiri; tiga desa di Kecamatan Pakuhaji; dan dua desa di Kecamatan Teluknaga.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan pihaknya bakal mencabut pagar laut tersebut apabila tidak mengantongi izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Pihaknya sudah meminta Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) untuk turun ke lapangan.
“Pasti dicabut, artinya bangunan-bangunan yang ada di situ ya harus dihentikan,” kata Sakti, Kamis, 9 Januari 2025 di Tangerang.
Di hari yang sama, belasan petugas yang dipimpin Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan, Pung Nugroho Saksono, menggunakan Kapal Pengawas Hiu Biru 03 dan Hiu Biru 06, meninjau lokasi pemagaran laut yang ada di wilayah perairan Kabupaten Tangerang itu.
Petugas KKP kemudian memasang spanduk berwarna merah bertuliskan “Penghentian Kegiatan Pemagaran Laut Tanpa Izin” di atas pagar bambu itu. Pemagaran laut itu dinilai melanggar Pasal 18 angka 12 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Setelah menuai polemik, JRP akhirnya bersuara dan mengklaim merekalah yang membangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang itu. Koordinator JRP, Sandi Martapraja mengaku masyarakat sekitar ikut membangun pagar laut tersebut. Sandi menyebutkan pagar laut itu berguna untuk mencegah abrasi.
“Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat,” kata Sandi di Tangerang, Banten pada Sabtu, 11 Januari 2025 seperti diberitakan Antara.
Tak hanya itu, Sandi juga mengklaim dana pembangunannya merupakan kerja gotong royong dan patungan warga. Kendati demikian, pihaknya mengakui tak tahu menahu besaran biayanya. Sebab, kata dia, tidak ada rincian pasti soal total biaya yang dibutuhkan membangun pagar itu.
“Waduh, kalau untuk waktu itu (total biaya) saya belum sampai ke situ ya. Saya hanya coba memberikan informasi, gitu kan,” kata dia kala dihubungi media, Senin, 13 Januari 2025.
Sandi juga menyebut inisiatif tersebut berawal dari solidaritas warga di desa-desa tertentu. Namun, ia tak menjawab jelas desa mana saja yang terlibat patungan membangun pagar sepanjang itu. Pun soal jumlah kontribusi patungan yang diberikan masyarakat, ia menyatakan bahwa tidak ada nominal khusus yang dipatok.
“Ya, swadaya masyarakat, masyarakat ini kan banyak ya dan itu sih enggak satu-dua masyarakat kemudian membangun yang katanya panjangnya 30 kilometer itu,” katanya.
Beredar kabar bahwa biaya pembangunan pagar laut itu ditaksir mencapai sekitar Rp420.000 per meter. Selain itu masyarakat sekitar yang turut membantu pengerjaan dibayar antara Rp100.000 hingga Rp200.000 per harinya. Dari jumlah tersebut, total biaya pembuatan pagar laut di perairan Tangerang tersebut bisa mencapai Rp15 miliar.
Pernyataan Sandi ditanggapi politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Banten, Mulyanto. Pembina Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) itu menyebut pagar laut ini membawa dampak negatif bagi para nelayan. Karena itu, kata dia, pernyataan bahwa pagar laut itu bermanfaat justru kontradiktif.
“Keberadaan pagar laut memaksa nelayan untuk memutar lebih jauh saat melaut, yang pada akhirnya meningkatkan biaya operasional. Secara resmi, mereka menyampaikan keluhan ini kepada Ombudsman RI. Bahkan Ombudsman sudah menghitung kerugian nelayan per tahun,” katanya pada Sabtu.
Mulyanto turut menyoroti biaya pembuatan pagar laut yang mencapai nyaris Rp500 ribu per meter alias sekitaran Rp15 miliar secara keseluruhan. Menurutnya, sangat tidak mungkin masyarakat mampu mengeluarkan duit sebanyak itu untuk keperluan publik, yang mestinya merupakan tanggung jawab negara. Apalagi saat ini kondisi ekonomi masyarakat sangat memperihatinkan.
“Mengeluarkan uang sebanyak ini untuk keperluan publik, yang seharusnya menjadi tugas negara, sangat kontradiktif dengan kondisi ekonomi nelayan yang saat ini memprihatinkan,” katanya.
Pendapat Mulyanto didukung Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR) Ahmad Khozinudin. Menurutnya, dalih pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang, yang diklaim dilakukan oleh warga secara swadaya untuk mencegah abrasi dan mitigasi tsunami, bagai alibi maling yang tertangkap basah.
“Dana sebesar ini tidak mungkin dikumpulkan dari warga pesisir pantai yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan saja sulit, apalagi harus mengeluarkan uang miliaran untuk membuat pagar laut,” katanya kepada media, Ahad, 12 Januari 2025.
Sementara itu, menurut Ombudsman Republik Indonesia, kerugian yang timbul akibat pembangunan pagar laut di Tangerang diperkirakan mencapai Rp16 miliar. Jumlah tersebut merupakan perhitungan awal dari kerugian yang dialami para nelayan dan petambak yang berada di pesisir tempat pagar laut berdiri.
“Total kerugian itu sekitar Rp16 miliar, selama ada kasus itu,” kata anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, melalui sambungan telepon pada Ahad, 12 Januari 2025.
Ia menyampaikan perhitungan awal itu setelah sebelumnya sempat mengunjungi sejumlah kecamatan yang terdampak pemagaran laut pada Desember 2024 lalu. Yeka berujar kerugian timbul dari berbagai kesulitan yang dialami para nelayan. Di antaranya karena mereka menjadi kesulitan untuk melaut.
Menurut dia, warga pesisir di Kabupaten Tangerang harus menempuh perjalanan lebih jauh untuk melaut karena keberadaan pagar laut tersebut. Nelayan harus mengambil jalan mengitari pagar yang menghabiskan waktu hingga 1,5 jam untuk melaut. Kondisi itu mempengaruhi biaya pengeluaran terhadap bahan bakar, buntutnya nelayan enggan melaut.
“Orang jadi tidak melaut, lalu juga pemborosan bahan bakar karena mau melaut harus satu jam setengah habis di jalan, akhirnya tidak produktif,” kata dia.
Yudono Yanuar, Sultan Abdurrahman dan Ayu Cipta berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
komentar
Jadi yg pertama suka