Ekonomi & Bisnis
Ancaman di Balik Utang Paylater Warga RI yang Tembus Rp30 T
CNN EKONOMI
| 9 jam yang lalu
1 0 0
0
Jakarta, CNN Indonesia --
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total utang masyarakat Indonesia di layanan paylater mencapai Rp30,36 triliun per November 2024. Angka itu meningkat dari bulan sebelumnya mencapai Rp29,66 triliun.
Total utang tersebut tersebar di industri perbankan dan industri multifinance yang menyediakan layanan buy now pay later (BNPL).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae melaporkan kredit paylater perbankan mencapai Rp21,77 triliun per November 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Per November 2024, baki debet kredit BNPL tumbuh sebesar 42,68 persen year on year, (sementara Oktober 2024 sebelumnya itu adalah sebesar 47,92 persen menjadi sebesar Rp21,7 triliun," ujar Dian dalam Konferensi Pers RDKB Desember 2024 secara daring, Selasa (7/1).
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM dan LJK Lainnya (PVML) OJK Agusman melaporkan kredit paylater melalui perusahaan pembiayaan atau multifinance mencapai Rp8,59 triliun pada periode yang sama.
Angka tersebut tumbuh sebesar 61,90 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Di sisi lain, ia mencatat pembiayaan bermasalah paylater yang tercermin dari NPF (Non Performing Financing) tercatat sebesar 2,92 persen (gross) dan NPF Nett sebesar 0,81 persen.
Lantas berbahayakah dampak tumpukan utang paylater bagi ekonomi RI?
Director of Fiscal Justice Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan penumpukan utang paylater memang mencerminkan tren konsumsi berbasis kredit yang terus meningkat, serta membantu inklusi keuangan dengan memberikan akses kredit kepada kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal.
Namun masalahnya, tren saat ini justru menunjukkan orang menggunakan paylater untuk utang konsumtif.
Hal itu akan meningkatkan risiko gagal bayar sehingga dapat memperburuk rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di lembaga keuangan, termasuk fintech.
"Tingginya NPL berarti meningkatnya jumlah kredit yang gagal bayar, berkurangnya kepercayaan investor dan masyarakat terhadap stabilitas sistem keuangan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/1).
Lebih lanjut, Media menjelaskan meningkatnya NPL akan membuat lembaga keuangan harus menyediakan cadangan yang lebih besar untuk menutup potensi kerugian. Akibatnya, lembaga keuangan harus mengurangi kemampuan mereka untuk menyalurkan kredit baru.
"Jadi akan memperlambat konsumsi dan pertumbuhan ekonomi," katanya.
Senada, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan tumpukan utang paylater masyarakat berisiko tinggi terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang. Pasalnya, utang paylater sebagian besar bersifat konsumtif dan rata-rata jumlahnya di atas kemampuan membayar.
"Ini bisa menciptakan risiko gagal bayar yang cukup tinggi," katanya.
Jika terjadi gagal bayar, sambung Bhima, maka akan mempengaruhi penyaluran kredit yang lebih produktif seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor.
Pasalnya pengguna paylater yang memiliki riwayat buruk akan mendapatkan skor kredit jelek di BI Checking atau yang kini berubah menjadi SLIK OJK.
"Beberapa bank ada yang sulit sekali approve pinjaman KPR karena masih ada pinjaman di paylater yang belum dilunasi," katanya.
Begitu juga Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan tumpukan utang paylater bisa meningkatkan peluang terjadinya gagal bayar. NPL dan NPF (non-performing finance) katanya bisa meningkat karena penyaluran yang tumbuh signifikan.
Namun, ia melihat NPL dari paylater perbankan akan lebih baik dibandingkan dengan NPF dari paylater multifinance.
"Hal ini disebabkan paylater perbankan mempunyai data historis keuangan yang lebih baik dari calon pengguna paylater-nya. Mereka juga menawarkan paylater-nya kepada nasabah bank masing-masing. Beda dengan multifinance yang bisa dari luar ekosistem mereka," imbuhnya.
(agt/agt)
komentar
Jadi yg pertama suka