Ekonomi & Bisnis
Dosen dan Peneliti UII Jabarkan Soal Kebijakan Suku Bunga yang Diturunkan BI Menjadi 5,75 Persen
TEMPO BISNIS
| 6 jam yang lalu
8 0 0
0
KEPUTUSAN Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur 14-15 Januari 2025 menjadi tonggak penting sejarah kebijakan moneter Indonesia.
Sejak Oktober 2023, BI mempertahankan suku bunga acuan pada 6-6,25 persen setelah menurunkannya dari 6,25 persen pada September 2024 menjadi 6 persen. Langkah ini diambil untuk mengatasi inflasi inti yang bertahan di atas target 3±1 persen, yaitu 4,2 persen pada akhir kuartal III 2024.
Namun, nilai tukar Rupiah menghadapi tekanan hebat yang melemah mencapai Rp16.019 per USD pada 16 Desember 2024 hingga di kisaran Rp16.311 per USD pada 15 Januari 2025.
Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, memberikan penjabaran tentang kebijakan suku bunga yang diturunkan oleh BI menjadi 5,75 persen.
1. BI Rate atau Suku Bunga Diturunkan Menjadi 5,75 Persen
Penurunan BI Rate dari 6 persen menjadi 5,75 persen menandai langkah strategis BI mendorong pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Kebijakan ini bukan hal baru dalam sejarah moneter Indonesia. Pada 2020, selama pandemi Covid-19, BI memangkas suku bunga acuan dari 5 persen menjadi 3,5 persen untuk menopang perekonomian.
Penurunan BI Rate dari 6 persen menjadi 5,75 persen menandai langkah strategis BI mendorong pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Kebijakan ini bukan hal baru dalam sejarah moneter Indonesia. Pada 2020, selama pandemi Covid-19, BI memangkas suku bunga acuan dari 5 persen menjadi 3,5 persen untuk menopang perekonomian.
"Langkah ini berhasil mendorong pertumbuhan kredit hingga 8,2 persen pada 2021 yang sebelumnya hanya mencapai 1,3 persen pada 2020. Namun, langkah agresif ini juga memunculkan tekanan inflasi pada 2022 yang mencapai 5,5 persen, melampaui target BI," kata kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Rabu,15 Januari 2024.
Kini, penurunan suku bunga menjadi 5,75 persen ketika inflasi inti yang masih berada di level 4 menggarisbawahi dilema BI. Di satu sisi, langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dengan menurunkan biaya pinjaman. Namun, jika inflasi tidak terkendali, daya beli yang meningkat justru memicu siklus inflasi sulit diredam.
Menurut Listya, dengan suku bunga global yang tetap tinggi, seperti Federal Reserve yang mempertahankan suku bunga di kisaran 5,25-5,5 persen, daya tarik investasi portofolio Indonesia dapat melemah. Pada 2024, Indonesia mencatat arus keluar modal sebesar USD 2,5 miliar dari pasar obligasi domestik. "Tren ini berpotensi berlanjut, jika suku bunga domestik terus menurun tanpa dukungan stabilitas Rupiah," kata dia.
2. Suku Bunga Deposit Facility Menjadi 5,00 Persen
Penurunan suku bunga Deposit Facility bertujuan untuk mendorong perbankan menyalurkan lebih banyak kredit ke masyarakat. Kebijakan ini memiliki sejarah panjang dalam mendukung likuiditas di pasar keuangan. Misalnya, pada 2016, BI memangkas suku bunga Deposit Facility dari 4,75 persen menjadi 4 persen sebagai bagian upaya mempercepat ekspansi kredit.
Penurunan suku bunga Deposit Facility bertujuan untuk mendorong perbankan menyalurkan lebih banyak kredit ke masyarakat. Kebijakan ini memiliki sejarah panjang dalam mendukung likuiditas di pasar keuangan. Misalnya, pada 2016, BI memangkas suku bunga Deposit Facility dari 4,75 persen menjadi 4 persen sebagai bagian upaya mempercepat ekspansi kredit.
Alhasil, menurut Listya, likuiditas meningkat signifikan, tetapi pertumbuhan kredit hanya naik moderat dari 7 persen menjadi 8 persen. Pengalaman ini menunjukkan, menurunkan suku bunga simpanan tidak selalu menjamin penyaluran kredit meningkat, terutama jika sektor usaha menghadapi ketidakpastian.
Pada 2025, meskipun likuiditas perbankan cukup longgar, pertumbuhan kredit tetap melambat, yaitu dari 9,2 persen pada awal 2024 menjadi 7,5 persen pada akhir tahun. Angka ini menjadi tanda bahwa perbankan masih berhati-hati menyalurkan pinjaman, terutama pada sektor-sektor dengan risiko tinggi, seperti properti dan manufaktur.
"Apakah penurunan suku bunga simpanan ini akan menjadi solusi? Tanpa keberanian dari sektor perbankan dan insentif bagi sektor riil, kebijakan ini berisiko menciptakan over-liquidity tanpa efek nyata pada pertumbuhan ekonomi," ujar Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu.
3. Suku Bunga Lending Facility Menjadi 6,50 Persen
Listya menjelaskan, penurunan suku bunga Lending Facility dirancang untuk meningkatkan efisiensi operasional perbankan dengan mengurangi biaya pinjaman antarbank. Kebijakan ini sama seperti 2008, di tengah krisis keuangan global, terbukti efektif mencegah kegagalan sistemik sektor perbankan. Namun, kondisi saat ini berbeda.
Listya menjelaskan, penurunan suku bunga Lending Facility dirancang untuk meningkatkan efisiensi operasional perbankan dengan mengurangi biaya pinjaman antarbank. Kebijakan ini sama seperti 2008, di tengah krisis keuangan global, terbukti efektif mencegah kegagalan sistemik sektor perbankan. Namun, kondisi saat ini berbeda.
Sistem perbankan Indonesia relatif stabil, dengan rasio kecukupan modal (CAR) berada di level 23,5 persen pada akhir 2024, jauh di atas batas minimal 8 persen. "Kondisi ini memunculkan pertanyaan bahwa apakah penurunan biaya antarbank ini akan cukup untuk mendorong bank menyalurkan lebih banyak kredit ke sektor riil?," ujar Listya.
Pada 2024, BI mencatat bahwa sekitar 60 persen likuiditas perbankan masih terkonsentrasi di instrumen keuangan, seperti Surat Berharga Negara (SBN) dibandingkan kredit ke sektor riil.
Kondisi ini mencerminkan rendahnya permintaan kredit atau kepercayaan bank terhadap prospek usaha di sektor tertentu. Dengan biaya pinjaman antarbank yang lebih rendah, perbankan diharapkan lebih aktif menyalurkan kredit, tetapi tanpa insentif lebih spesifik untuk sektor prioritas.
"Dengan demikian, langkah ini akibat suku bunga acuan menurun hanya akan menjadi dorongan kecil di tengah kebutuhan reformasi yang besar," katanya.
komentar
Jadi yg pertama suka