Ekonomi & Bisnis
Outlook 2025: Menakar Kondisi Pekerja dan Daya Beli Masyarakat Usai UMP 6,5 Persen
TEMPO BISNIS
| 11 jam yang lalu
2 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah kinerja industri yang menurun dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 80 ribu buruh meletus sepanjang 2024, Kementerian Ketenagakerjaan menaikkan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan, telah mempertimbangkan kenaikan UMP lewat sejumlah variabel, di antaranya pertumbuhan ekonomi, inflasi, menjaga daya beli, dan kesejahteraan buruh.
Kemenaker menurutnya telah membahas kenaikan tersebut bersama dengan kalangan buruh dan perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Dalam proses diskusi, para buruh meminta kenaikan upah sampai 10 persen, tapi Apindo menyatakan siap di kisaran 6 persen. “Makanya sampai terjadi tarik-menarik,” kata dia kepada Tempo pada pekan kedua Desember 2024 di kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat pemerintah yang salah satunya menjaga daya beli itu ternyata tak cukup sekadar menambah upah para pekerja. Peneliti Center of Reform on Economic (Core) Eliza Mardian mengatakan pemerintah juga mesti menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok terutama pangan. Demikian juga dengan inflasi yang mesti terkendali. Daya beli masyarakt otomatis akan meningkat kalau pendapat juga mencukupi dan harga bahan pokok terjangkau. Tanpa cara ini, pemerintah akan seperti kata pepatah: menjaring angin.
“Jika inflasi tinggi, kenaikan UMP mungkin tidak cukup meningkatkan daya beli secara signifikan,” kata Eliza. Menurut dia, lebih dari separuh pengeluaran kelas menengah dan bawah untuk belanja pangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia pada Desember 2024 mengalami inflasi 0,44 persen secara month to month atau lebih tinggi dari periode yang sama di 2023 sebesar 0,41 persen.
Sementara, inflasi Indeks Harga Konsumen menjadi 1,57 persen secara tahunan. Inflasi di Desember 2024 ini berasal dari lima kelompok pengeluaran, terutama kebutuhan pangan. Komoditas pangan itu di antaranya makanan, minuman, tembakau, telur ayam ras, cabai merah, ikan segar, dan sejenisnya.
Menurut Eliza, pengendalian inflasi ini juga tak cukup di level konsumen. Pemerintah mesti memitigasi risiko dari sisi hulu produksi, seperti gagal panen akibat perubahan cuaca atau serangan hama. “Strategi kebijakannya harus komprehensif,” kata dia.
Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan, mengatakan kenaikan UMP 6,5 persen ini memang dibutuhkan dalam kondisi sekarang. Namun, menurutnya, pemerintah perlu mengawasi para pengusaha agar mentaati keputusan ini. “Implementasinya perlu pengawasan ketat,” kata Maftuhan saat diskusi terfokus di Kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, Selasa, 14 Januari 2025.
Pekerja informal. TEMPO/Tony Hartawan
Tantangan Pekerja Informal usai UMP 6,5 Persen
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyebut dampak kenaikan UMP 6,5 persen ini bisa saja meleset dari harapan, yaitu mendongkrak daya beli dan meningkatkan kesejahteraan buruh. Awalil mencatat setidaknya ada dua alasan mengapa kondisi tersebut bisa terjadi. Pertama, UMP hanya untuk pekerja formal atau tetap. “Apalagi sektor informal, termasuk yang berusaha sendiri yang tanpa pekerja, rata-rata penghasilan mereka di bawah UMP,” kata Awalil.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024 menunjukkan dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebanyak 57,95 persen atau 83,83 juta penduduk bekerja di sektor informal. Sementara itu, penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 42,05 persen. Menurut BPS, kegiatan formal dan informasi dari penduduk bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan utama. Penduduk bekerja di kegiatan formal mencakup status berusaha dengan dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan/pegawai, sedangkan sisanya termasuk penduduk bekerja di kegiatan informal.
Kedua, pelaku usaha akan semakin terbebani dengan peraturan pengupahan ini. Menurut Awalil, perusahaan berpotensi akan merasionalisasikan atas pengelolaan usahanya atas kenaikan UMP ini. Salah satu potensi besar ialah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja. Dengan dua alasan itu, Awalil menyebut dampak akhir bagi perekonomian, termasuk daya beli masyarakat, belum bisa dipastikan. “Sekurangnya, akan tidak terlampau signifikan sesuai harapan,” kata Awalil.
Pendapat peneliti Next Policy Shofie Azzahrah setali tiga uang. Menurut Shofie daya beli masyarakat akan memburuk apabila terdapat PHK massal. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan angka PHK dalam tiga tahun terakhir meningkat. Pada Januari-Oktober 2022 terjadi 11 ribu PHK. Sedangkan pada Januari-Oktober 2023, tercatat 45 ribu PHK. Adapun dalam periode Januari-Desember 2024, ada 80 ribu kasus PHK. Pemerintah juga membentuk satuan tugas untuk mengantisipasi PHK massal imbas kenaikan UMP sebesar 6,5 persen.
Karena itu, dia mewanti-wanti pemerintah jangan hanya menaikkan UMP, tapi juga membantu industri untuk ekspansi pasar, memberi insentif pajak, dan membatasi kuota impor untuk komoditas tertentu. “Kenaikan upah ini memang penting. Namun pemerintah juga harus membantu industri,” kata dia.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan kondisi sektor tenaga kerja masih berat pada kuartal pertama 2025. Ia mengungkapkan, industri dan pekerja di sektor tekstil masih akan bekerja keras pada tahun ini.
Tak hanya itu, Yassierli mengatakan Satgas khusus untuk mengantisipasi PHK imbas UMP 6,5 persen juga tak akan diam. Dia mengatakan pemerintah telah menyiapkan daya saing industri agar tidak ada PHK. “Kalau sudah kena PHK, itu tanggung jawab kami,” kata dia.
komentar
Jadi yg pertama suka