Ekonomi & Bisnis
Dosen dan Peneliti UII Jelaskan Dampak dan Tantangan Penurunan Suku Bunga Acuan BI Menjadi 5,75 Persen
TEMPO BISNIS
| 7 jam yang lalu
6 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur 14-15 Januari 2025 menjadi tonggak penting dalam sejarah kebijakan moneter Indonesia. Langkah ini diambil untuk mengatasi inflasi inti yang bertahan di atas target 3±1 persen, yaitu 4,2 persen pada akhir kuartal III 2024.
Menurut Listya Endang Artiani, Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, kebijakan itu memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia.
Dampak Jangka Pendek: Dorongan Konsumsi dan Investasi Domestik
Pada jangka pendek, penurunan suku bunga acuan BI menjadi 5,75 persen diharapkan mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi domestik. Pengalaman pada 2020 selama pandemi Covid-19 menunjukkan, penurunan suku bunga dari 5 persen menjadi 3,5 persen berhasil meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 5,2 persen (2021) dari 2,6 persen (2020).
Pada jangka pendek, penurunan suku bunga acuan BI menjadi 5,75 persen diharapkan mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi domestik. Pengalaman pada 2020 selama pandemi Covid-19 menunjukkan, penurunan suku bunga dari 5 persen menjadi 3,5 persen berhasil meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 5,2 persen (2021) dari 2,6 persen (2020).
"Dampak ini tidak lepas dari risiko. Dengan inflasi inti yang bertahan di level 4 persen, peningkatan konsumsi menciptakan tekanan tambahan pada harga barang dan jasa, terutama sektor pangan dan energi," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Rabu, 15 Januari 2024.
Selain itu, penurunan suku bunga acuan dapat mengurangi daya tarik aset keuangan Indonesia bagi investor asing. Pada 2013, saat BI mempertahankan suku bunga 5,75 persen sementara The Fed mulai memperketat kebijakan moneternya, Indonesia mengalami outflow investasi portofolio hingga USD 4,1 miliar sehingga Rupiah melemah sebesar 18 persen dalam satu tahun.
Kondisi ini serupa dengan tantangan yang dihadapi pada 2025 ketika perbedaan suku bunga dengan negara maju, seperti AS, berisiko memicu volatilitas nilai tukar Rupiah. "Sebelumnya, pada akhir 2024 stabil Rp15.500 per USD, tetapi rentan terhadap guncangan eksternal," kata dia.
Dampak Jangka Panjang: Peluang dan Risiko Reformasi Struktural
Pada jangka panjang, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan pemerintah dan BI mengintegrasikan langkah moneter dengan reformasi struktural. Data historis menunjukkan, pelonggaran moneter yang tidak disertai kebijakan pendukung sering hanya memberikan dampak sementara.
Pada jangka panjang, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan pemerintah dan BI mengintegrasikan langkah moneter dengan reformasi struktural. Data historis menunjukkan, pelonggaran moneter yang tidak disertai kebijakan pendukung sering hanya memberikan dampak sementara.
Pada 2015-2016, BI menurunkan suku bunga dari 7,5 menjadi 4,75 persen sehingga pertumbuhan ekonomi hanya naik tipis dari 4,9 menjadi 5,0 persen. Sebab, kurangnya reformasi sektor riil, seperti efisiensi logistik dan peningkatan produktivitas.
Pada 2025, risiko serupa muncul, jika pelonggaran moneter tidak diikuti dengan langkah strategis di sektor riil. Misalnya, pertumbuhan kredit perbankan melambat dari 9,2 menjadi 7,5 persen pada 2024 yang mencerminkan rendahnya kepercayaan pelaku usaha terhadap prospek ekonomi. Tanpa reformasi, seperti percepatan pembangunan infrastruktur, digitalisasi UMKM, dan diversifikasi ekonomi, kebijakan moneter hanya menjadi stimulus sementara tanpa dampak jangka panjang signifikan.
Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu mengatakan, kendati begitu peluang tetap ada. Dengan penurunan suku bunga, sektor manufaktur berteknologi tinggi dan energi terbarukan dapat menarik lebih banyak investasi asing. Pada 2021, investasi asing langsung (FDI) sektor energi hijau meningkat sebesar 12 persen usai pemerintah memperkenalkan insentif pajak proyek energi terbarukan.
"Jika langkah ini diterapkan konsisten, penurunan suku bunga menjadi fondasi pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif," ujarnya.
Dampak Positif Kebijakan
1. Penurunan Suku Bunga dan Stabilitas Ekonomi
Data Historis: Penurunan suku bunga dapat meningkatkan konsumsi dan investasi. Misalnya, pada periode pasca-krisis finansial global 2008, BI menurunkan suku bunga secara agresif yang diikuti peningkatan pertumbuhan ekonomi pada 2010 sekitar 6,1 persen, meskipun inflasi tetap terkendali di bawah 5 persen.
Analisis: Penurunan suku bunga memberikan biaya pinjaman lebih rendah bagi masyarakat dan sektor usaha yang pada gilirannya memperbaiki daya beli dan mendorong investasi. Jika inflasi tetap terkendali, ini memberi ruang untuk pertumbuhan ekonomi lebih sehat. Namun, untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan tersebut, perlu ada kebijakan yang memperkuat sektor riil karena ketergantungan terhadap faktor eksternal, seperti permintaan global.
2. Daya Beli Masyarakat dan Pertumbuhan Konsumsi
Data Historis: Pada 2016, ketika suku bunga BI turun signifikan, Indonesia mencatatkan pertumbuhan konsumsi meningkat tajam dengan kontribusi sektor konsumsi terhadap PDB mencapai 56,8 persen pada tahun ini.
Analisis: Penurunan suku bunga bersama kebijakan fiskal yang mendukung dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Namun, jika pertumbuhan ekonomi rendah, daya beli masyarakat mungkin tetap terhambat. Oleh karena itu, meskipun kebijakan ini memberikan angin segar jangka pendek, pada jangka panjang dibutuhkan pertumbuhan ekonomi lebih solid dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, Listya Endang juga menguraikan tantangan dari kebijakan penurunan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen beserta analisinya:
1. Pertumbuhan Ekonomi Masih di Bawah 5 Persen
Data Historis: Sejak 2018, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi relatif stagnan di bawah 5 persen dengan kecenderungan fluktuasi akibat ketegangan global dan penurunan harga komoditas. Pada 2024, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 4,9 persen.
Analisis: Meskipun suku bunga rendah dapat mendukung pemulihan, tantangan terbesar adalah bagaimana kebijakan ini dapat mengatasi masalah struktural yang menghambat pertumbuhan jangka panjang, seperti ketergantungan ekspor dan infrastruktur terbatas.
"Oleh karena itu, tanpa kebijakan yang memperkuat daya saing domestik dan inovasi, pertumbuhan ekonomi rendah dapat mengancam keberlanjutan stabilitas ekonomi," katanya.
Data Historis: Beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi periode inflasi yang cukup tinggi, meskipun pertumbuhan ekonomi terbatas. Pada 2014-2015, meskipun ada penurunan suku bunga, inflasi tetap tinggi (rata-rata 6-7 persen) dan pertumbuhan ekonomi rendah yang menandakan potensi stagflasi.
Analisis: Stagflasi, yaitu kombinasi dari inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi stagnan bisa menjadi ancaman nyata, jika permintaan domestik tetap rendah sementara inflasi dipicu oleh biaya impor tinggi. Kondisi ini menyulitkan pemerintah merumuskan kebijakan menstimulasi permintaan tanpa memperburuk inflasi.
"Jika pertumbuhan kredit tetap rendah (seperti pada proyeksi 7,5 persen pada 2024), daya beli masyarakat tidak akan meningkat secara signifikan sehingga risiko stagnasi ekonomi lebih besar," ujar Listya.
3. Pertumbuhan Kredit yang Rendah
Data Historis: Pada akhir 2019, pertumbuhan kredit tercatat sekitar 9,2 persen, meskipun target pertumbuhan sebesar 12 persen. Pada 2024, diproyeksikan hanya mencapai 7,5 persen, jauh dari target 10 persen.
Analisis: Pertumbuhan kredit yang rendah mencerminkan ketidakpastian di sektor riil. Meskipun suku bunga rendah seharusnya mendorong pinjaman, ketidakpastian perekonomian dan prospek permintaan global yang lemah membuat pelaku usaha enggan berinvestasi.
"Jika sektor riil tidak mampu mengambil risiko baru, ekonomi mengalami stagnasi. Kondisi ini juga menunjukkan, kebijakan moneter saja tidak cukup; kebijakan fiskal dan struktural yang mendukung kepercayaan sektor riil sangat diperlukan," katanya.
komentar
Jadi yg pertama suka