Ekonomi & Bisnis
Kenapa Pagar Laut Masih Sengkarut, Siapa 'Tuhan' di Balik Kasus Itu?
CNN EKONOMI
| 10 jam yang lalu
1 0 0
0
Jakarta, CNN Indonesia --
Misteri pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang masih belum juga terpecahkan hingga saat ini. Pemerintah mengaku tidak tahu asal-usul pagar laut itu.
Pemerintah bahkan tak seirima dengan penanganan pagar laut tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono memilih menyegel pagar laut itu dan menyatakan tak berizin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
TNI AL pun kemudian mulai membongkar pagar bambu itu pada Sabtu (18/1) setelah mengaku mendapatkan perintah khusus dari Presiden Prabowo Subianto.
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa pembongkaran pagar laut itu dilakukan tanpa koordinasi dengan Menteri Sakti Wahyu Trenggono.
Stafsus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto Darwin menyebut pembongkaran pagar tanpa koordinasi itu justru berpeluang mengaburkan proses hukum yang sedang berjalan.
Doni mengatakan KKP memilih berhati-hati dalam kasus ini karena mempertimbangkan banyak hal dalam penyelidikan, terutama terkait keberlanjutan ekosistem di wilayah sekitarnya.
"Beberapa informasi yang sedang kami teliti adalah pemasangan paranet di sana, yang berarti kemungkinan perubahan kondisi alam sekitarnya. Tentu ini punya dampak lingkungan juga," ujar dia.
Sementara Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meminta TNI AL tak melanjutkan aktivitas pembongkaran pagar laut di Tangerang yang sudah disegel.
Dia khawatir pembongkaran malah menyulitkan proses penyelidikan untuk mengetahui pemilik properti tersebut.
"Kalau dibongkar gimana, enggak ada yang ngaku kan repot. Dan kamu (media) ngejar saya lagi, nanya siapa yang punya," kata Trenggono.
Namun Panglima TNI menyatakan pembongkaran akan terus dilakukan. Dia bilang pembongkaran adalah perintah langsung dari Presiden Prabowo Subianto.
"Lanjut, sudah perintah presiden," ujarnya kepada wartawan lewat pesan singkat, Minggu (19/1).
Ia mengatakan pagar laut misterius di Tangerang telah mengganggu aktivitas masyarakat khususnya yang ada di daerah pesisir. Oleh karenanya, kata dia, pembongkaran diharapkan dapat memudahkan para nelayan untuk mencari ikan di laut.
"Masyarakat yang mau mencari ikan tidak ada akses, sehingga dibuka supaya masyarakat bisa mencari ikan ke laut," tuturnya.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengakui pagar laut misterius sepanjang 30 km di Tangerang sudah bersertifikat hak guna bangunan (HGB).
Nusron mengatakan total ada 263 bidang tanah di atas pagar laut Tangerang yang memiliki sertifikat HGB. Sertifikat-sertifikat itu dimiliki oleh beberapa perusahaan.
Salah satu perusahaan yang disebut mengantongi HGB laut itu, yakni PT Cahaya Inti Sentosa dengan kepemilikan 20 bidang lahan di area perairan.
PT Cahaya Inti Sentosa (CISN) merupakan anak usaha PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PIK 2), emiten properti di bawah Agung Sedayu Group milik Aguan.
Lantas mengapa pemerintah tak seirama soal pagar laut? Apa yang sebenarnya terjadi?
Direktur Kajian Hukum Agraria dan Lingkungan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) M. Zakiul Fikri mengatakan misteri pagar laut di Tangerang membuka tabir baru dan menjadi ironi dalam tata kelola wilayah pesisir di Indonesia.
Ia heran pagar sepanjang 30 km terbangun tanpa pemerintah pusat maupun daerah mengetahui keberadaannya.
Padahal, seiring berjalan waktu didapati fakta bahwa di atas laut yang dipagari itu telah terbit hak atas tanah berupa HGB.
"Artinya, setidak-setidaknya BPN tahu lah ini siapa yang punya pagar laut, orang itu sertifikat mereka yang terbitkan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/1).
Terbitnya HGB di atas air laut, sambungnya, juga berpotensi membuka tabir baru perihal praktek mafia tanah dan kelautan. Sebab, setiap pemanfaatan atas ruang laut pada dasarnya harus memperoleh perizinan yang dikenal dengan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPRL) dari KKP.
"Jadi lucu ketika KKP klaim tidak tahu menahu soal pagar tersebut," katanya.
Yang juga menjadi pertanyaan, sambungnya, mengapa HGB bisa terbit di atas air laut. Fikri mengatakan HGB hanya terbit di atas tanah negara atau tanah hak.
Ia mengatakan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak pernah menyebut bahwa hak atas tanah seperti HGB, dapat diterbitkan di atas air laut.
"Jadi, dari aspek regulasi mana saja, tidak ditemukan dalil yang dapat membenarkan terbitnya HGB di atas perairan laut utara Tangerang tersebut," katanya.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria katanya juga tegas melarang kepemilikan individual ataupun badan hukum atas objek sumber daya air, termasuk pantai dan laut teritorial karena menyangkut hidup orang banyak.
"Jadi, harusnya laut teritorial itu merupakan kuasa langsung negara yang tidak boleh dimiliki siapapun. Pemanfaatannya pun harus memerhatikan kepentingan umum dan daya dukung ekosistem lingkungan sekitarnya, diatur misalnya dalam Pasal 15 PP 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah," katanya.
Pemerintah terutama Presiden Prabowo, katanya, harus tegas mencabut semua bentuk bangunan dan sertifikat tanah yang diperoleh secara melanggar hukum. Jangan sampai umur pemerintahan Prabowo yang masih sangat muda sekarang tercoreng oleh praktek-praktek demikian.
Namun, ia menilai Prabowo tidak perlu turun tangan atas masalah ini. Masalah ini katanya cukup diselesaikan antara KKP dan ATR/BPN saja sebagai institusi yg bertanggungjawab soal kasus tersebut.
"KKP selesaikan soal bangunan di laut itu, ATR BPN tinjau lagi soal HGB-nya," katanya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah mengatakan tak seiramanya langkah pemerintah soal pagar laut membuktikan bahwa koordinasi di dalam pemerintah memang berjalan tidak baik.
"Itu memang minimnya koordinasi antara KKP, Kementerian ATR, dan juga TNI AL," katanya.
Trubus mengatakan adanya pagar laut terjadi karena kongkalikong antara pemerintah daerah (pemda) dengan pebisnis. Menurutnya, pemda menerima suap dari perusahaan yang memasang pagar laut .
"Sebenarnya itu yang bermain pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang terima untung. Ya korupsi lah, namanya terima suap dari pebisnis. Emang masang pagar, lurah RT dan RW-nya enggak tahu, kan tahu. Kenapa mereka enggak ngomong? Karena dikasih duit," katanya.
Trubus pun menyayangkan masalah ini hanya diurus oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah diam saja. Ia pun menilai Presiden Prabowo mestinya tak perlu turun tangan.
Masalah ini, sambungnya, seharusnya bisa diselesaikan oleh para menteri koordinator Kabinet Merah Putih.
"Menko seharusnya (yang menyelesaikan). Cuma karena menteri koordinatornya Prabowo kan kebanyakan ketua parpol (partai politik), enggak mau disuruh-disuruh kan," katanya.
"Kalau Jokowi kan dulu ada Luhut. Kalau Prabowo enggak ada siapa-siapa. Makanya dia tangani sendiri," katanya.
Sementara itu, Peneliti CELIOS Muhammad Salah mengatakan respons pemerintah yang tak seirima terjadi karena tumpang tindih kewenangan pengaturan kawasan dan tata ruang di Indonesia. Kendala ini diperparah pemisahan kementerian sektoral di bawah Menko.
"Kalau dulu ATR/BPN, KKP, polisi dan TNI bisa dikoordinasi oleh Menkopolhukam. Sekarang dia tersebar di Menko Polkam, Menko Pangan, Menko Hukum. Ini menandakan buruknya koordinasi dan komunikasi kelembagaan Pemerintahan Prabowo," katanya.
Mestinya masalah ini, sambungnya, bisa diselesaikan di level menteri koordinator, tanpa perlu presiden turun tangan.
"Masalah ini mestinya bisa diselesaikan oleh Menko Polkam, dan Menko Pangan. Dan ini ujian bagi Menko. Soal kemampuan koordinasi dan apakah mereka transparan. Kalau tidak bisa maka Prabowo mesti ambil alih. Dan ini jadi preseden buruk bahwa Menko gagal mengkoordinasikan kementerian dan lembaga," katanya
komentar
Jadi yg pertama suka