Ekonomi & Bisnis
Penyaluran Pinjaman Daring 2017-2024 Mencapai Rp 978 Triliun
TEMPO BISNIS
| 5 jam yang lalu
8 0 0
0
TEMPO.CO, Bandung - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat angka agregat pencairan pinjaman di industri fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar) nyaris Rp 1.000 triliun. Ketua Klaster Pendanaan Produktif AFPI Tofan Saban mengatakan total pinjaman yang sudah tersalurkan sejak industri tersebut berdiri pada 2017 silam hingga November 2024 mencapai Rp 978 triliun.
Angka tersebut, kata Tofan, berasal dari 97 perusahaan pindar yang sudah mengantongi izin Otoritas Jasa Keuangan. “Ini yang secara akumulatif ya, di mana outstanding pinjaman yang saat ini ada Rp 74 triliun yang masih berputar di masyarakat,” ungkapnya dalam acara media gathering di kawasan Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada Rabu, 22 Januari 2025.
Ia menjelaskan, total agregat pencairan pinjaman sejumlah Rp 978 triliun itu berasal dari dua juta pemberi pinjaman atau lender. Dua juta pihak lender ini ada yang individu, ada pula yang berupa entitas. “Ada juga beberapa teman-teman yang entitasnya yang datang dari luar negeri,” ujar Tofan.
Sementara sejak berdirinya industri pindar ini, jumlah peminjam dana atau borrower tercatat sebanyak 137 juta, baik entitas maupun individu. “Sudah melayani kebutuhan dari kira-kira 137 juta individu ataupun entitas yang saat ini ada, menikmati penyaluran dana yang disalurkan oleh industri kami,” tutur Tofan.
Adapun AFPI juga mencatat angka TKB90 per November 2024 sebesar 97,62 persen. Dilansir dari laman OJK, TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan perusahaan fintech P2P lending dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban pendanaan dengan jangka waktu sampai 90 hari terhitung sejak jatuh tempo.
Sebelumnya, AFPI menegaskan pinjaman daring (pindar) berizin berbeda dengan pinjaman online (pinjol) ilegal. Istilah pinjol kini mulai digantikan dengan pindar untuk mengacu pada Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending.
Ketua Klaster Pendanaan Syariah AFPI Chairul Aslam menjelaskan, ada lima perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu meliputi aspek legalitas, bunga dan biaya, proses penagihan, akses data, hingga aspek perlindungan hukum.
Chairul mencontohkan, pada perusahaan pindar penagihan diatur oleh standar etika yang mengikat. Ia menjelaskan proses penagihan oleh pinjol ilegal kerap dilakukan pada waktu yang dinilai tidak pantas. Adapun perusahaan pindar harus mematuhi sejumlah aturan etik. Chairul mengatakan, perusahaan pindar tidak boleh menagih di hari libur dan jam-jam tertentu seperti di jam istirahat.
Aspek akses data pada pindar berizin dan pinjol ilegal juga disebut menjadi pembeda di antara keduanya. Pada perusahaan pinjol ilegal, akses terhadap data pengguna biasanya tidak terbatas. Sementara akses data pada perusahaan pindar hanya terbatas pada mikrofon, kamera, dan lokasi. “Kalau ada aplikasi apapun yang minta, apalagi yang menyatakan dia pindar, dia meminta akses di luar tiga itu, dapat dipastikan itu adalah bodong, pinjol ilegal,” ujar Chairul.
Chairul juga menyoroti soal perlindungan hukum perusahaan fintech P2P lending. Perusahaan-perusahaan pindar yang berizin dan diawasi menyediakan portal pengaduan. Keluhan-keluhan mengenai layanan pindar difasilitasi oleh OJK maupun AFPI sebagai upaya untuk melindungi pengguna. Sementara pada pinjol ilegal, tidak ada sistem aturan yang resmi. “Urusannya dengan debt collector yang tidak ada aturannya, regulasinya,” ujar Chairul.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah mengatakan perubahan istilah pinjol ke pindar merupakan upaya melepaskan konotasi negatif perusahaan-perusahaan fintech P2P lending yang berizin dari perusahaan pinjaman yang ilegal.
“Kami punya spirit mau mendisosiasi bahwa kami memang berbeda dengan pinjol ilegal,” ujar dia. “Pinjol kan tadi, nggak ada aturan, nggak ada regulasi, brutal penagihannya, dan lain-lain.”
komentar
Jadi yg pertama suka