Ekonomi & Bisnis
Ekonom Ini Beberkan Dampak Kebijakan "America First" Donald Trump bagi Indonesia
TEMPO BISNIS
| Januari 26, 2025
5 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Masyita Crystallin mengungkapkan kekhawatirannya soal dampak kebijakan proteksionisme Amerika Serikat (AS) yang diusung oleh Presiden Donald Trump terhadap perekonomian Indonesia. Ia mengatakan kebiijakan tersebut bakal memengaruhi perekonomian negara karena posisi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbuka yang bergantung pada perdagangan internasional.
Menurut Masyita, kebijakan itu berpotensi memicu ketidakstabilan harga komoditas global. "Indonesia, yang merupakan eksportir utama komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet, dapat terdampak oleh fluktuasi harga yang tajam akibat perang dagang global,” kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu, 25 Januari 2025.
Penurunan harga komoditas, lanjut Masyita, akan berimplikasi pada menurunnya pendapatan negara dari sektor tersebut, sekaligus mengurangi daya beli masyarakat di wilayah penghasil komoditas.
Selain itu, langkah negara-negara mitra dagang AS untuk melindungi ekonomi domestik mereka pun dapat mempersulit akses produk Indonesia ke pasar internasional. "Sebagai contoh, penerapan kebijakan anti-dumping atau hambatan non-tarif oleh mitra dagang utama seperti Uni Eropa dan Cina dapat memperkecil peluang ekspor Indonesia," ujar Masyita.
Kendati demikian, ia melihat ini sebagai kesempatan Indonesia untuk memperkuat pasar domestik. Masyita menilai Indonesia dapat memitigasi risiko dari kebijakan proteksionisme AS, misalnya dengan mengalihkan fokus ke peningkatan konsumsi dalam negeri dan diversifikasi ekspor ke negara-negara lain yang juga potensial. "Pemerintah Indonesia perlu mendorong inovasi di sektor industri dan mempercepat reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya saing produk lokal," katanya.
Hal ini, menurut Masyita, supaya Indonesia bisa lebih mandiri dalam mengelola ekonominya. Masyita mengatakan pemerintah dapat menggunakan momentum ini untuk mendorong hilirisasi industri, sehingga nilai tambah produk Indonesia meningkat sebelum diekspor. "Hilirisasi tidak hanya memperkuat perekonomian domestik, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat," tutur dia.
Adapun menurut Masyita, kebijakan "America First" yang digencarkan oleh Presiden AS Donald Trump sejak awal kepemimpinannya tidak hanya memunculkan kekhawatiran di kalangan seteru utama AS seperti Cina, tetapi juga di antara negara-negara sekutu seperti Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. "Negara-negara mitra dagang AS diprediksi akan terus meningkatkan langkah-langkah perlindungan ekonomi domestik mereka untuk menghadapi kebijakan tersebut," jelas dia.
Tekanan-tekanan yang dilancarkan AS melalui kebijakan proteksionisme ini, kata Masyita, merupakan bagian dari strategi agresif untuk memastikan posisi utama AS dalam perekonomian global. Masyita berpendapat kebijakan tersebut—meskipun berpotensi meningkatkan pendapatan negara dalam jangka pendek—berisiko memicu ketegangan internasional yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi global.
Salah satu kebijakan utama yang diantisipasi ialah soal penerapan tarif impor hingga 25 persen untuk barang-barang yang masuk ke AS, termasuk tarif khusus sebesar 60 persen untuk barang-barang asal Cina.
Masyita menjelaskan, berdasarkan data dari situs Tax Foundation, penerapan skema tarif 10 persen dapat meningkatkan pendapatan AS hingga US$ 2 triliun, sementara skema tarif 20 persen dapat menghasilkan US$ 3,3 triliun pada periode 2025 hingga 2034. Namun, Masyita mengatakan peningkatan pendapatan ini memiliki konsekuensi negatif berupa eskalasi perang dagang, yang dapat memicu respons balik dari negara-negara mitra dagang AS.
Sebagai contoh, lanjut dia, Korea Selatan telah menyiapkan dana sebesar 10 triliun (sekitar Rp 111,2 triliun) untuk menstabilkan rantai pasokan domestiknya sebagai langkah antisipasi. Langkah serupa juga dilakukan oleh negara-negara lain untuk melindungi perekonomian mereka dari dampak kebijakan proteksionisme AS.
Masyita menyebut kebijakan moneter global saat ini cenderung menahan suku bunga dalam posisi konstan atau dinamis dalam rentang terbatas. “Hal ini dilakukan sembari menunggu realisasi penuh dari kebijakan-kebijakan sensasional yang direncanakan oleh Presiden Trump," kata Masyita.
komentar
Jadi yg pertama suka