Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Rektor UII Tolak Perguruan Tinggi Kelola Tambang, Sentil Fungsi Kampus
CNN EKONOMI   | Kemarin, 13:50
5   0    0    0
Yogyakarta, CNN Indonesia --
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid menolak keras usulan pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi dalam perubahan keempat RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Fathul menyentil fungsi utama kampus yang sejatinya menjadi gerbang keilmuan yang seharusnya netral.
"UII tidak setuju gagasan pemberian izin pertambangan ke kampus," kata Fathul saat dihubungi, Sabtu (25/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya memiliki sederet alasan atas penolakan ini. Pertama, menurut Fathul, industri ekstraktif sudah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan, sebagaimana aktivitas pertambangan yang juga sering menyebabkan konflik, penggusuran, dan dampak negatif pada masyarakat lokal.
Apabila perguruan tinggi terjun ke dalam sektor ini, lanjut Fathul, maka jelas integritas akademiknya bakal dipertaruhkan.
"Mengapa? Karena temuan saintifik terkait dengan dampak buruk aktivitas pertambangan terhadap lingkungan dan manusia di sekitar lokasi akan cenderung diabaikan. Kampus karenanya bisa menjadi antisains. Selain itu, keterlibatan dalam aktivitas pertambangan dapat memunculkan erosi kepercayaan publik terhadap kampus," tegasnya.
Alasan kedua, kata Fathul, apabila IUP ini dianggap sebagai hadiah dari pemerintah, sangat mungkin kampus sebagai rumah intelektual akan semakin 'parau suaranya' ketika terjadi ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, perguruan tinggi dikhawatikan terlena dari misi utamanya sebagai lembaga pendidikan.
"Orang Jawa menyebutnya sebagai 'melik nggendong lali'. Keinginan untuk menggapai sesuatu yang lain dapat melupakan dari misi awalnya. Kampus harus fokus menghasilkan karya akademik yang bermanfaat, mencetak generasi pemikir kritis dan agen perubahan, bukan justru terjebak dalam korporatisasi dan menjadi entitas bisnis semata," ungkapnya.
Fathul menambahkan, logika kampus yang sejatinya dijalankan dengan prinsip nirlaba berpotensi dirusak dengan pola pikir bisnis, mengejar profit sebesar-besarnya dengan godaan pengabaian etika. Termasuk, tidak mempertimbangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Menceburkan diri dalam industri kontroversial, baginya jelas akan mencoreng reputasi kampus yang selama ini dibangun.
"Saya masih belum percaya dengan yang mengatakan jika kampus mengelola usaha pertambahan dan uang kuliah semakin murah. Jangan-jangan yang tambah kaya justru para elite dan pemilik kampusnya," katanya.
"Jika memang pemerintah ingin membantu kampus dalam pendanaan, masih banyak cara lain yang bisa dipilih, termasuk dengan meniadakan pajak lembaga dan mempermudah kampus membuka usaha yang bersih lain," sambung dia.
Tak paham pola pikir kampus pro usulan kelola tambang
Fathul pun turut mempertanyakan dasar kampus-kampus yang mendukung usulan ini. Dia mengaku kurang bisa memahami pola pikir perguruan tinggi yang justru merespons positif usulan ini dan menyatakan siap mengelola tambang, padahal dibutuhkan modal besar untuk bisa melakukannya.
"Jika kita ikuti logika para pendukung. Dari informasi yang saya dapat, investasi usaha pertambangan sangat tinggi. Kampus dapat uang dari mana? Dana pendidikan ketika digunakan untuk usaha nonpendidikan, ada implikasinya loh, termasuk di sisi perpajakan," kata Fathul.
Ia juga berpandangan jika pemberian izin tambang dianggap sebagai solusi atas pembiayaan tinggi setiap kampus sangatlah tidaklah masuk akal.
"Saya malah khawatir, jangan-jangan ada kepentingan cukong di balik kampus yang ngebet mendapatkan izin usaha pertambangan. Saya tidak paham dengan beragam logika kampus pendukung yang muncul di media. Dengan mengelola tambang, UKT menurun? Saya ragu hal itu akan terjadi," katanya.
"Coba dicek saja, di kampus-kampus besar yang menjalankan banyak usaha itu, apakah sudah ada dampaknya terhadap penurunan UKT? Pakai saja logika serupa untuk usaha pertambangan. Kalau memang sudah ada penurunan UKT di kampus tersebut, berarti saya yang ketinggalan kereta," sambung Fathul.
Namun demikian, Fathul yang merupakan ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V DIY itu memastikan pandangan ini hanya mewakili UII. Dia belum mengetahui perspektif kampus-kampus swasta lain di provinsinya menyangkut usulan ini.
Intinya, Fathul dan UII bersikukuh meminta pemerintah dan DPR agar tak mengikutsertakan kampus ke dalam wacana pengelolaan tambang ini.
"Kalau negara ini percaya bahwa kampus punya posisi strategis untuk peradaban Indonesia ke depan, jangan tarik kampus ke gagasan yang dapat mengalihkan kampus dari misi mulianya. Lupakan saja gagasan pemberian izin pertambangan ke kampus yang membocorkan energi dan kehebohan yang tidak perlu. Hapus frasa 'perguruan tinggi' dari draf undang-undang," pungkasnya.
Pro kontra muncul saat Baleg DPR merumuskan aturan baru untuk memberikan izin usaha pertambangan atau WIUP kepada perguruan tinggi dan UMKM. Usulan itu tertuang dalam pembahasan RUU Minerba yang dibahas DPR jelang akhir masa reses.
Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Mohammad Nasih menjadi salah satu yang menyambut baik usulan ini.
Menurut Nasih, usulan memberikan izin tambang tersebut adalah niat baik dari pemerintah sebagai solusi pembiayaan tinggi setiap kampus. Karena itu, dia sepakat dengan adanya rencana tersebut.
"Niatan ini kan sudah dapat satu, artinya pahalanya sudah satu. Kalau niatan baik ini direalisasikan tentu kami akan menyambut dengan baik," kata Nasih, di Kampus B Unair, Surabaya, Jumat (24/1).
Tapi, Nasih meminta pemerintah memberikan perguruan tinggi kesempatan untuk identifikasi lokasi tambang terlebih dahulu, sebelum resmi mengelolanya.
"Kalau kemudian kita identifikasi itu bisa memberikan manfaat. Karena tujuannya untuk meringankan perguruan, tentu kita akan menyambut baik," katanya.
Sementara itu, Nasih menilai pengelolaan pertambangan merupakan hal baru bagi perguruan tinggi. Maka hal itu perlu banyak pertimbangan sebelum kampus setuju dengan kebijakan tersebut.
"Bisnis tambang bukan urusan mudah, apalagi kalau tempatnya jauh, terpencil, dan seterusnya, ini bukan pekerjaan mudah. Mampukah perguruan tinggi mengambil investasi itu," ucapnya.
Sehingga, kata Nasih, di masa awal pasti akan banyak pengorbanan, pertimbangan dan investasi yang harus keluarkan oleh perguruan tinggi. Ia ingin memastikan pihaknya benar-benar sesuai dengan ketentuan itu.
"Tinggal hitung-hitungannya nyucuk (untung) atau tidak, kalau enggak ya mohon maaf, kalau masih nyucuk ya tentu perguruan tinggi akan dengan senang hati bisa menerima kesempatan," ujar dia.
(bac/bac)
komentar
Jadi yg pertama suka