Ekonomi & Bisnis
Kades Kohod Dikabarkan Menghilang setelah Debat dengan Menteri Nusron Wahid, Ngotot Pagar Laut Bekas Empang
TEMPO BISNIS
| 12 jam yang lalu
5 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Desa Kohod, Arsin bin Sanip, menjadi sorotan karena sertifikat tempat pagar laut berdiri berada di wilayah kerjanya. Ia kini dikabarkan menghilang setelah beberapa hari lalu sempat berdebat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid terkait legalitas sertifikat tersebut.
Menurut laporan Tempo, Arsin tidak terlihat di rumahnya sejak bertemu Nusron Wahid. Deretan mobil mewahnya juga tak terlihat di rumahnya, yakni Jeep Wrangler Rubicon dan Toyota Fortuner. Mobil yang tertinggal di rumahnya Honda Civic putih bernomor polisi B 412 SIN dan sebuah mobil dinas berpelat merah.
Saat bertemu Nusron, Arsin bersikukuh bahwa tanah tempat pagar laut dulunya adalah empang, oleh karena itu dipagari bambu.
Menteri Nusron Wahid mengaku, sempat berdebat dengan Kepala Desa Kohod, Arsin, terkait legalitas Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut milik PT Intan Agung Makmur (IAM) di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten.
Menurut Nusron, Kades Kohod itu berupaya menerangkan bahwa area pagar laut di pesisir pantai Alar Jimab merupakan lahan kosong yang sebelumnya dijadikan empang. Namun, kini berubah menjadi hamparan laut akibat terkena abrasi.
"Saya berdebat sama Pak Kades, dia ngotot bahwa itu dulunya empang. Katanya ada abrasi. Kemudian dikasih batu-batu sejak tahun 2004. Karena kalau tidak nanti sampai permukiman," kata Nusron usai meninjau luasan SHGB/SHM di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Jumat, 24 Januari 2025, seperti dikutip Antara.
Kendati demikian, Menteti ATR/BPN enggan menanggapi perdebatan mengenai sejarah lahan yang kini terdapat pagar bambu tersebut. Sebab, berdasarkan fakta data hasil investigasi bahwa lahan yang secara fisik hilang. Maka status tanah tersebut berubah menjadi musnah.
"Karena sudah nggak ada fisiknya, maka itu masuk kategori tanah musnah. Kalau masuk kategori tanah musnah, otomatis hak apapun di situ hilang. Hak milik juga hilang. Hak guna bangunan juga hilang," katanya.
Ia menyebutkan, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN akan berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan tentang adanya penerbitan SHGB/SHM secara transparansi.
Selain itu, Kementerian ATR/BPN secara resmi mencabut status penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan dan Sertifikat Hak Milik pagar laut milik PT Intan Agung Makmur (IAM) di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten.
"Hari ini kami bersama tim, melakukan proses pembatalan sertifikat baik itu SHM maupun HGB. Itu tempat terbitnya sertifikat SHGB. Yang kami sebut nama PT IAM," katanya.
Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi terhadap penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut di kawasan pesisir pantai utara (pantura), Kabupaten Tangerang, Banten, khususnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji berstatus cacat prosedur dan materil batal demi hukum.
Menurutnya, peninjauan terhadap batas daratan/garis pantai yang sebelumnya terdapat dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di pesisir pantai Desa Kohod itu telah melanggar ketentuan yuridis. Maka dari itu secara otomatis di status penerbitan sertifikat tersebut dapat dicabut dan dibatalkan.
"Yang jelas secara faktual material, tadi kita lihat sama-sama fisiknya udah tidak ada tanahnya. Betul kan?. Sudah tidak ada tanahnya," tuturnya.
Dari 263 sertifikat SHGB dan SHM yang berada di dalam bawah laut tersebut sebagianya sudah dibatalkan dan dicabut penerbitannya. Hal itu karena melanggar aturan sebagaimana diketahui berada di luar garis pantai.
Nusron juga menambahkan, Kementeriannya dalam hal penyelesaian kasus SHGB/SHM pagar laut ini akan dituntaskan secepatnya dan setepat mungkin.
Karena sertifikat yang cacat secara prosedural dan materil jumlahnya cukup banyak, sehingga butuh proses waktu yang memungkinkan.
Greenpeace: Tak Mungkin Area Pagar Laut Tadinya Daratan
Greenpeace Indonesia menyatakan mustahil kawasan pemasangan pagar laut di perairan di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten, merupakan daratan pada 2-3 tahun lalu
Urban Justice Campaigner Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, menjelaskan rata-rata peningkatan muka air laut di Indonesia, yakni 0,8 - 1,2 sentimeter per tahun. Sedangkan penurunan muka tanah rata-rata di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) 7,5 sentimeter per tahun.
"Tidak mungkin (lokasi pagar laut di Desa Kohod) pada 2022-2023 bentuknya masih daratan, kecuali jika pada masa tersebut ada bencana alam besar, seperti tsunami," kata Jeanny kepada Tempo, pada Senin, 27 Januari 2025.
Dia menjelaskan musnahnya daratan akibat abrasi memiliki waktu variatif. Sebab, peristiwa alam itu dipengaruhi oleh kecepatan air dan angin, keras batuan atau daratan di pantai, jumlah material yang diangkut, land subsidence, dan peningkatan muka air laut yang ada di wilayah tersebut akibat krisis iklim.
komentar
Jadi yg pertama suka