Ekonomi & Bisnis
Soal Rencana Audit Rumah Subsidi Bermasalah, Akademikus: Pengembang Bisa Jadi Pusat Informasi
TEMPO BISNIS
| 7 jam yang lalu
8 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Universitas Bengkulu Beni Kurnia Illahi mengatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak berwenang langsung mengaudit pengembang rumah subsidi. Menurut Benni, pintu masuk audit tetap dari pemerintah sebagai pengelola program dan anggaran. Ia menyampaikan hal ini seiring rencana Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait alias Ara meminta BPK mengaudit pengembang rumah subsidi bermasalah.
Benni menilai rencana Ara untuk mengaudit pengembang bertujuan bagus karena untuk melindungi masyarakat dari pengembang perumahan yang tidak bertanggungjawab. Namun, ia mengimbau Ara untuk mencermati tugas dan batas wewenang BPK. Ia menjelaskan, wewenang BPK adalah mengaudit memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), dan lembaga negara lainnya, termasuk BUMN dan BUMD. Pengembang perumahan—yang merupakan unsur swasta—tidak masuk kategori tersebut. “Fungsi BPK tidak sejauh sampai mengaudit pengembang, meski tujuannya baik,” kata Benni ketika dihubungi Tempo pada Sabtu, 22 Februari 2025. “Pengembang kan tidak melaporkan keuangan (kepada negara)."
Adapun dalam program rumah subsidi, APBN yang dikucurkan dikelola pemerintah pusat atau pemda yang diberi kewenangan delegasi. Artinya, pihak yang bisa diaudit BPK adalah pemerintah pusat dan pemda. Pengembang, kata Benni, bisa ikut diaudit tetapi hanya sebagai pusat informasi atau untuk dikonfirmasi terkait dengan hal teknis maupun substansial. “Sejauh mana pengembang melaksanakan fungsi penyedia atau pelaksana proyek tersebut?” kata Benni.
Bila audit BPK dilakukan langsung ke pengembang, menurut Benni, BPK berarti melampaui batas kewenangan. Adapun dalam Pasal 23E UUD 1945 dijelaskan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Artinya, bila audit tetap dijalankan, pelaksanaan kegiatan auditnya bisa batal karena melanggar peraturan perundang-undangan. “Jadi, tidak bisa digunakan untuk ditindaklanjuti,” kata Benni. “Kalau terjadi potensi kerugian negara, pengembang juga tidak layak membayar ganti rugi ke negara karena BPK melampaui batas wewenang.”
Benni menuturkan, pihak yang berwenang mengevaluasi dan mengawasi pengembang mulai dari perencanaan hingga penyerahan hasil bangunan rumah justru pemerintah. Sebab, dalam program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) pemerintah yang memiliki kontrak kerja sama dengan pengembang peerumahan. Artinya, bila pemerintah menemukan hasil yang tidak sesuai kesepakatan, pemerintah bisa menuntut pengembang. “Pemerintah bisa meminta ganti rugi. Itu dulu sebelum BPK masuk,” ujar Benni.
Rencana Kementerian PKP meminta BPK mengaudit pengembang perumahan muncul setelah Inspektur Jenderal Kementerian PKP Heri Jerman adanya pengembang bermasalah yang membangun rumah subsidi dengan kualitas bangunan yang buruk. Persoalan lain yang ditemukan Kementerian PKP adalah kondisi saluran sanitasi dan pembuangan airnya tidak sempurna sehingga menyebabkan banjir.
Untuk menindaklanjuti rencana tersebut, Menteri PKP Maruarar Sirait alias Ara kemudian mengundang para pengembang dari sejumlah asosiasi untuk rapat koordinasi di kantornya pada Jumat, 23 Februari 2025. Dalam forum rapat itu, Ara meminta kesediaan pengembang untuk diaudit. Ara mengatakan bila pengembang perumahan tidak setuju diaudit, artinya mereka tidak setuju dengan langkah negara. “Bukan negara mau jadi jagoan, tapi untuk melindungi masyarakat agar dapat pengembang bertanggung jawab,” kata Ara.
Para pengembang yang hadir dalam pertemuan Jumat sore itu pun menyepakati rencana itu. Namun kemudian, Ketua Bidang Perizinan, Pertanahan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Bambang Setiadi mempertanyakan dasar hukum pelaksanaan audit. Pasalnya, pengembang hanya menjadi mitra dan sebagai penyedia rumah, bukan pengguna APBN dalam program FLPP.
Untuk bisa menjadi bagian program FLPP pun, kata Bambang, ada serangkaian proses seleksi. Sebelum membangun rumah juga ada perizinan yang harus diurus ke pemerintah daerah setempat. Kemudian ketika rumah yang dibangun pengembang ternyata tidak layak huni, persetujuan kredit untuk konsumen pun tidak bisa ditandatangani. “Kalau ada yang harus diaudit, ya internal mereka, pemerintah, BUMN, kemudian ya pengguna anggaran, kementerian. Itu jelas diaudit,” kata Bambang saat ditemui usai rapat.
Pilihan editor: Menteri PKP Tanggapi Kritik Konser Dewa 19: Hidup Harus Seimbang, Waktunya Kerja Ya Kerja, Nyanyi Ya Nyanyi
komentar
Jadi yg pertama suka