Ekonomi & Bisnis
KPPU Selidiki Monopoli Perdagangan LPG oleh Pertamina Patra Niaga yang Diduga Untung 10 Kali Lipat
TEMPO BISNIS
| 13 jam yang lalu
7 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) resmi memulai penyelidikan awal atas dugaan monopoli dalam penjualan Liquefied Petroleum Gas (LPG) Non Subsidi di pasar midstream yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN). KPPU menyepakati untuk mengusut kasus yang melibatkan entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini dalam Rapat Komisi pada 5 Maret 2025 lalu.
“KPPU berinisiatif untuk memulai penyelidikan awal atas dugaan praktik monopoli,” kata Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto dalam keterangan tertulis, Ahad, 9 Maret 2025.
Penyelidikan awal yang berasal dari kajian KPPU tersebut akan berfokus pada pencarian alat bukti terhadap dugaan pelanggaran Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999. Sejak tahun lalu, KPPU telah melaksanakan kajian atas penjualan LPG Non Subsidi di Indonesia. KPPU menduga terdapat pelaku usaha yang memonopoli terhadap penjualan LPG Non Subsidi di pasar midstream atau pasar gas LPG bulk non PSO untuk dikemas ulang.
“Dengan menjual harga yang tinggi dan menikmati keuntungan yang tinggi (super normal profit),” kata Taufik.
KPPU menilai harga LPG Non Subsidi yang tinggi tersebut diduga mengakibatkan banyak konsumen yang beralih menggunakan LPG Subsidi atau kemasan 3 kilogram. Dalam kajiannya, KPPU mendalami struktur pembentukan harga di sektor tersebut, khususnya dari hulu hingga hilir.
Saat ini, penjualan LPG Subsidi sebagai Public Service Obligation (PSO) dilakukan oleh PT PPN. Perusahaan pelat merah ini menguasai lebih dari 80 persen pasokan LPG dalam negeri dan LPG impor. PT PPN juga menjual LPG yang tidak bersubsidi dengan merek dagang BrightGas. Perusahaan tersebut juga menjual gas secara bulk kepada perusahaan lain, yakni BlueGas dan PrimeGas, yang merupakan produsen LPG tabung Non Subsidi.
Dalam penjualan di 2024, KPPU menemukan adanya keuntungan yang tinggi atau super normal profit dari penjualan LPG Non Subsidi sebesar 10 kali lipat dibandingkan laba penjualan LPG Subsidi, atau sekitar Rp 1,5 triliun.
“KPPU menduga perilaku eksklusif dan eksploitatif PT PPN melalui penjualan LPG dengan harga yang lebih tinggi kepada konsumen downstream yang juga merupakan pesaing langsung PT PPN di pasar LPG Non Subsidi,” kata Taufik.
KPPU menyebut PT PPN berpotensi melanggar Pasal 17 (Monopoli) di UU Nomor 5 Tahun 1999. Akibat pelanggaran ini, KPPU menilai harga LPG Non Subsidi menjadi sangat tinggi sekaligus membuat konsumen enggan menggunakan LPG Non Subsidi dan beralih pada LPG Subsidi.
Ini berdampak pada terbebannya anggaran negara, meningkatnya subsidi LPG yang tidak tepat sasaran, dan meningkatkan jumlah impor LPG,” kata dia.
komentar
Jadi yg pertama suka