Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Huru-hara MinyaKita: Pernah Langka di Pasaran, Harga Naik Kemudian Penyunatan Volume Kemasan
TEMPO BISNIS   | 10 jam yang lalu
2   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - MinyaKita, minyak goreng bersubsidi yang diluncurkan oleh Kementerian Perdagangan dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau. Namun, perjalanan produk ini tidaklah mulus. Sejak diluncurkan, MinyaKita mengalami berbagai masalah, mulai dari kelangkaan di pasaran hingga isu kecurangan volume kemasan yang baru-baru ini mencuat.
Penyunatan Volume Takaran
Baru-baru ini, MinyaKita kembali menjadi sorotan publik karena dugaan kecurangan terkait takaran isi produk. Sebuah video viral menunjukkan bahwa kemasan 1 liter MinyaKita ternyata hanya berisi antara 750 ml hingga 800 mililiter. Penemuan ini mengundang kemarahan konsumen yang merasa dirugikan.
Menanggapi video viral tersebut, Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso mengatakan bahwa video viral itu adalah kasus lama. “Jadi, itu mungkin video lama,” kata Budi saat konferensi pers di Sarinah, Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025.
Lebih lanjut, Menteri Budi menyampaikan bahwa produsen yang berbuat curang tersebut adalah PT Navyta Nabati Indonesia (NNI) dan telah pernah disegel oleh Kemendag pada Januari lalu. Kini, Budi menjamin sudah tidak ada MinyakKita yang isinya kurang dari 1 liter. “Sudah enggak beredar lagi,” kata Budi.
Sebelumnya, Mendag menyegel gudang PT NNI di Kabupaten Tangerang pada 24 Januari 2025. Penyegelan ini dilakukan karena dugaan pelanggaran izin produksi dan distribusi yang menyebabkan harga MinyaKita melonjak di wilayah Banten. Budi mencurigai bahwa perusahaan tersebut melanggar berbagai aturan, termasuk tidak memiliki izin edar dari Badan POM dan memproduksi minyak goreng dengan takaran yang tidak sesuai.
Setelah kontroversi penyunatan volume minyak goreng, Mendag kini umumkan harga eceran tertinggi MinyaKita yang dijual di pasaran telah sesuai dengan harga eceran tertinggi, Rp 15.700 per liter. Hal itu disampaikan usai mengunjungi sebuah kios sembako di Pasar Tomang Barat, Jakarta Barat.
Meskipun demikian, harga MinyaKita di setiap pasar tidak sama. Ada yang di atas HET hingga Rp 18.000 per liter dan ada yang masih sama dengan HET. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Rusmin Amin, melalui Antara menilai kenaikan harga MinyaKita ke konsumen di pasaran disebabkan oleh rantai panjang distribusi. Untuk memastikan harga MinyaKita sesuai HET, Ia menegaskan pemerintah akan terus berkoordinasi dengan lintas instansi untuk memastikan harga minyak goreng bersubsidi tersebut di daerah tetap terjangkau dan stabil.
Sejak produk MinyaKita diluncurkan, minyak goreng bersubsidi tersebut terus mengalami masalah.  Pada 2023, Polda Gorontalo mengungkap kasus dugaan kemas ulang minyak goreng MinyaKita di Kabupaten Bone Bolango.
Kombes Pol Wahyu Tri Cahyono, Kepala Bidang Humas Polda Gorontalo, menginformasikan bahwa seorang pedagang berinisial IB telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. IB diduga melakukan tindak pidana terkait perlindungan konsumen dengan mengemas ulang minyak goreng subsidi ke dalam botol bekas air mineral dan menjualnya dengan harga di atas HET.
“IB diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dan perdagangan berupa penyalahgunaan minyak goreng rakyat bermerek MinyaKita,” ucap Wahyu dalam konferensi pers, Kamis, 23 Februari 2023. 
Selain dikemas ulang dalam botol bekas, produk MinyaKita juga pernah ditemukan dijual secara daring pada Februari 2023. Menurut pantauan Tempo, MinyaKita masih dengan mudah ditemukan di berbagai platform e-commerce seperti Lazada dengan nama penjual TOKODIFARA yang beralamat di Cengkareng, Jakarta. Ia menjual MinyaKita berukuran 2 liter seharga Rp 35.000. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Mendag melarang penjualan MinyaKita secara online guna mengoptimalkan pendistribusian di pasar tradisional.
Masih di tahun yang sama, kasus minyak goreng bersubsidi tersebut ditemukan adanya pengemasan minyak goreng curah menjadi MinyaKita secara ilegal di Jawa Tengah kemudian dijual di atas HET Rp 14.000 per liter.
Berikutnya, bentuk kecurangan yang pernah ditemukan, adanya ditemukan menjual bundling MinyaKita, yaitu paket pembelian bersama produk lain. Kecurangan didapati di hampir seluruh wilayah kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia. 
Minyakita yang duluncurkan pemerintah Indonesia pada 2022 pernah dikabarkan mendadak langka secara merata hampir di semua daerah. Kalaupun dapat ditemukan, produk Minyakita dijual dengan harga jauh lebih tinggi dari harga eceran tertingginya (HET).
Tak jarang pedagang menjual Minyakita di harga Rp 20.000 per liter. Padahal, berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan MinyaKita yang diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000 per liter.
Zulkifli Hasan, Mendag saat itu memastikan kelangkaan Minyakita di pasaran bukan karena stok minyak goreng yang menipis. Menghilangnya Minyakita di pasaran, menurut dia, karena banyak masyarakat yang mulai beralih dari minyak goreng premium ke Minyakita lantaran kualitasnya yang tidak berbeda jauh.
Sementara itu, ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menduga perbedaan harga jual minyak sawit mentah atau CPO untuk biodiesel dan pangan menjadi penyebab langkanya minyak goreng, khususnya Minyakita. Ia menuturkan harga CPO untuk biodiesel lebih tinggi, terlebih setelah diluncurkannya Mandatory B35 pada 1 Februari lalu. 
Pengusaha sawit akan lebih tertarik menjual CPO ke produsen biodiesel. Apalagi ada insentif yang diberikan pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk penjualan CPO ke biodiesel B35. 
"Kalau saya jual ke minyak goreng, saya enggak dapat subsidi dari BPDPKS. Inilah biang keladinya," tuturnya dalam webinar yang diselenggarakan Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023. 
Dian Rahma Fika, Maria Arimbi Haryas Prabawanti, Melynda Dwi Puspita, dan Riani Sanusi Putri  berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
komentar
Jadi yg pertama suka