Ekonomi & Bisnis
KSPN Minta Pemerintah Perhatikan Masalah Seluruh Industri Tekstil, Tidak Hanya Sritex
TEMPO BISNIS
| 18 jam yang lalu
6 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara Ristadi meminta pemerintah agar tak terlalu mengistimewakan kepailitan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang telah tutup per 1 Maret 2025. Selain Sritex, ia mengatakan banyak perusahaan tektil lain yang tutup dan ada PHK.
Menurut Wakil Ketua Gerakan Solidaritas Nasional itu, kasus di Sritex harusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk melihat masalah industri tekstil secara menyeluruh alias tak sekadar perusahaan keluarga Lukminto ini. “Banyak perusahaan lain yang mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan Sritex. Ini harus menjadi trigger bahwa situasi industri tekstil tidak dalam keadaan baik,” kata Ristadi dalam keterangan video yang diterima Tempo, Sabtu, 15 Maret 2025.
Selain itu, Ristadi juga meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar kembali memetakan perusahaan tekstil dan sektor lain yang saat ini ambruk dan terjadi PHK. Menurut Ristadi, semua perusahaan dan eks pekerja yang terdampak PHK perlu diperhatikan secara setara.
“Sama-sama manusianya, warga negara, butuh perhatian yang sama dari pemerintah dan DPR,” kata dia.
Langkah ini dianggap perlu agar hak pekerja yang terdampak PHK juga terjamin. Senyampang itu, Ristadi mengatakan, pemerintah juga mesti melihat angkatan kerja dan pengangguran yang ada saat ini. Dari pemetaan industri tersebut, pemerintah juga bisa menyerap tenaga kerja dan pengangguran.
“Kami hanya bisa mendorong kepada pemerintah atau kepada pengusaha untuk membuat strategi yang lebih tepat bagaimana untuk penyerapan tenaga kerja,” kata Ristadi.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Alifudin meminta pemerintah hadir dan memastikan hak para pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja terpenuhi. Dia menyebut maraknya pabrik tutup yang berimbas pada PHK terhadap puluhan ribu pekerja harus mendapat perhatian.
“Ini adalah masalah besar yang mempengaruhi tidak hanya pekerja yang dirumahkan, tetapi juga ekonomi lokal dan nasional. Pemerintah harus hadir untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja yang terkena PHK bisa terlindungi dengan baik,” kata Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini dalam keterangan tertulisnya, dikutip Rabu, 5 Maret 2025.
Dampak PHK ini, kata dia, akan berimbas pada kesejahteraan masyarakat, terutama bagi keluarga-keluarga yang bergantung pada pendapatan dari pekerjaan mereka di pabrik. Belakangan, beberapa perusahaan dilaporkan tutup sekaligus menghentikan operasi. Perusahaan itu di antaranya PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Product Asia, PT Tokai Kagu, PT Danbi International Garut, PT Bapintri, dan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Dari tutupnya perusahaan ini, ada puluhan ribu pegawai yang terdampak.
Diketahui, PHK massal sudah terjadi sejak November 2024. Setidaknya 8 industri yang melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya. Misalnya PT Asia Pacific Fibers Tbk mem-PHK 2.500 karyawan. PT Bapintri mem-PHK 267 karyawan. PT Sanken Indonesia mem-PHK 459 karyawan. PT Danbi International mem-PHK 2.079 karyawan. Yamaha Music Indonesia mem-PHK 400 karyawan. PT Tokai Kagu Indonesia mem-PHK 195 karyawan.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menanggapi fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran yang terjadi belakangan ini. Faisol menyebut pemerintah tidak melihat kondisi ini sebagai krisis besar, melainkan sebagai dampak dari berbagai faktor, termasuk mismanajemen perusahaan dan penurunan permintaan ekspor.
"Beberapa, sebenarnya bukan besar-besaran ya. Itu memang ada beberapa problem perusahaan, misalnya dalam beberapa kasus ada mismanajemen, ada juga yang mungkin permintaan ekspornya turun," katanya kepada Tempo saat ditemui usai menghadiri acara pameran furniture Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2025 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 6 Maret 2025.
Ia mengatakan badai PHK ini merupakan bagian dari pergeseran ekonomi global yang turut berdampak pada sektor industri dalam negeri. "Sebenarnya kalau jujur kita melihat, ini kan ada switching ekonomi. Itu akhirnya switching juga di industri. Jadi kalau kita lihat di seluruh dunia, juga terjadi kontraksi di beberapa sektor. Pada akhirnya kita juga melihat ada sektor-sektor yang tertahan, ada sektor yang tumbuh," ujarnya.
Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
komentar
Jadi yg pertama suka