Ekonomi & Bisnis
Mafia Migas dari Petral hingga Pertamina Patra Niaga
TEMPO BISNIS
| 8 jam yang lalu
9 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Mafia minyak dan gas (migas) sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, mafia migas ini sudah terjadi dalam skala yang besar, sampai pada 2015, pemerintah Indonesia membubarkan Pertamina Energy Trading Limited (Petral), anak perusahaan Pertamina yang selama bertahun-tahun diduga menjadi sarang tersistematis dengan skala besar praktik mafia migas. Keputusan ini diambil sebagai upaya untuk memutus mata rantai praktik buruk dalam pengadaan bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah yang merugikan negara.
Petral yang berbasis di Singapura, awalnya dibentuk untuk mengelola impor minyak mentah dan produk BBM guna memenuhi kebutuhan energi domestik Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, perusahaan ini menjadi sorotan karena diduga menjadi tempat bagi para pemburu rente untuk mencari keuntungan melalui impor BBM dengan mekanisme yang tidak sesuai prinsip keadilan.
Pada periode 2012-2014, audit forensik yang dilakukan oleh Kordha Mentha mengungkap adanya anomali dalam pengadaan minyak oleh Petral. Temuan tersebut menunjukkan bahwa jaringan mafia migas menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun. Salah satu modus operandi yang terungkap adalah penggunaan Maldives National Oil Company (NOC) sebagai kedok untuk memenuhi ketentuan pengadaan minyak oleh Petral.
Setelah pembubaran Petral, pemerintah dan Pertamina melakukan restrukturisasi dengan membentuk subholding-subholding yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan sektor migas. Salah satu langkah yang diambil adalah pendirian Pertamina International Marketing & Distribution Pte. Ltd. pada tahun 2019.
Namun, Pertamina kala itu menegaskan bahwa pendirian ini bukanlah pengganti Petral, melainkan trading arm yang fokus menjual produk Pertamina maupun produk pihak ketiga di pasar internasional, berbeda dengan peran Petral yang mengelola impor minyak mentah untuk kebutuhan domestik.
Meskipun langkah-langkah tersebut telah diambil, pertanyaan mengenai keberadaan dan operasi mafia migas masih menjadi perdebatan. Pada Februari 2025, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk periode 2018–2023.
Para tersangka tersebut termasuk pejabat tinggi di anak perusahaan Pertamina, seperti Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi melihat bahwa adanya penetapan tersangka dalam kasus korupsi yang kembali membayangi PT Pertamina ini menjadi bukti masih ada mafia migas di dalam badan pemerintahan sendiri. Ia menilai bahwa presiden perlu berperan aktif dalam memeberantas korupsi dan mafia migas seperti ini.
“Tindak pidana korupsi itu tidak hanya merampok uang negara, tetapi juga merugikan masyarakat sebagai konsumen BBM (bahan bakar minyak),” kata Fahmy dikutip dari Antara.
Fahmy menyerukan permintaan ini kepada Prabowo Subianto untuk memberantas praktik korupsi migas. Pasalnya, ia menilai bahwa mafia ini selalu bergerak terorganisir dengan selalu melibatkan elit pemerintah, pengusaha, dan bahkan aparat keamanan atau pertahanan sehingga perlu ditangani segera.
Ni Made Sukmasari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
komentar
Jadi yg pertama suka