Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Aturan Bonus dari Hasil Sitaan Bea Cukai Menuai Kritik
TEMPO BISNIS   | Kemarin, 16:39
1   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - Warganet ramai membincangkan ihwal premi atau bonus sebesar 50 persen yang diterima Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dari hasil lelang atau denda barang sitaan. Aturan ini tertuang dalam Pasal 113D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Beleid itu berbunyi, orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak memperoleh premi. Jumlah premi paling banyak 50 persen dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau hasil lelang barang yang berasal dari tindak pidana kepabeanan.
Aturan ini diturunkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243 Tahun 2011 tentang Pemberian Premi yang diperbarui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21 Tahun 2024.
"Bisa dilihat bahwa pasal yang mengatur jumlah insentif ini NGGAK berubah. Pantes becuk pada cari pelanggaran harga lah pelanggaran kuantitas lah pelanggaran macem2," tulis akun @samsarigged di media sosial X (dulu Twitter), dikutip Sabtu, 12 April 2025.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, mengatakan bagi sebagian besar publik, fakta ini mengagetkan karena belum pernah tersosialisasi secara terbuka. Penilaian petugas Bea Cukai selama ini punya motif ekonomi dalam menindak barang kiriman masyarakat, menurut dia, pun menjadi wajar.
Achmad menjelaskan, setiap kebijakan insentif dalam birokrasi harus didasarkan pada prinsip-prinsip objektivitas, akuntabilitas, dan mendorong perilaku yang benar. Tapi ketika premi diberikan berdasarkan nilai pelanggaran, ia menyebut arah kebijakan menjadi bermasalah.
"Karena nilai pelanggaran justru menjadi aset yang diincar, bukan kondisi yang harus dicegah," ujar Achmad dalam keterangan tertulis, Jumat, 11 April 2025.
Dengan premi ini, ia mengatakan seorang petugas Bea Cukai akan melihat peluang untuk menyita barang karena kelengkapan dokumen yang kurang. Alih-alih mengedukasi atau membantu proses perbaikan dokumen, ia justru bisa terdorong untuk menyita, lalu berharap premi dari nilai barang tersebut. "Ini jelas menciptakan conflict of interest yang serius," tutur Achmad.
Menurut Achmad, skema bonus ini tak adil karena premi yang berbasis pelanggaran menciptakan insentif untuk mempertahankan bahkan memperbanyak pelanggaran. Skema ini tak akan mencegah korupsi atau pelanggaran, tapi justru mengandalkan eksistensi pelanggaran sebagai sumber penghasilan. 
Dalam jangka panjang, Achmad mengatakan, skema ini akan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem kepabeanan dan memperkuat anggapan bahwa aparat bekerja demi keuntungan pribadi, bukan demi kepentingan negara.
Selain itu, Achmad menilai skema ini bisa mendorong praktik manipulasi. Banyak importir atau pengirim barang individu yang tidak paham aturan teknis bea masuk. Alih-alih membantu, ujar dia, petugas bisa memperumit atau bahkan memelintir pasal untuk menjustifikasi penyitaan. "Jika premi menjadi imbalan, maka praktik over-enforcement akan makin menggila," ucapnya.
Achmad menambahkan, skema bonus berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang menekankan pada kemudahan perdagangan dan sistem kepabeanan yang fair dan bebas dari insentif yang bisa memicu distorsi.
Fakta bahwa aturan premi ini sudah lama ada tapi tak tersosialisasi secara luas, ujar Achmad, menunjukkan lemahnya transparansi dalam sistem. Karena itu, Achmad menilai aturan ini harus dikaji ulang. "Kebijakan premi bea cukai berdasarkan nilai barang sitaan harus dihentikan atau direformulasi," ujar Achmad.
Menurut Achmad, insentif bisa dan perlu diberikan kepada petugas bea cukai, tapi berdasarkan indikator kinerja yang mendorong perbaikan sistem, bukan mempertahankan pelanggaran. 
Ia mencontohkan, premi bisa diberikan jika petugas berhasil membantu menyelesaikan konflik klasifikasi barang secara adil, atau ketika mereka mampu mempercepat arus barang tanpa menurunkan kualitas pengawasan.
Negara, ujar Achmad, juga bisa mengalokasikan insentif berbasis capaian institusional, bukan personal. Misalnya, kantor Bea Cukai yang berhasil menurunkan jumlah pelanggaran karena edukasi efektif bisa mendapat tambahan anggaran.
Tempo telah meminta konfirmasi kepada Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto. Tapi hingga berita ini terbit, ia belum merespons.
komentar
Jadi yg pertama suka