Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Martin Lorentzon, Mimpi Kaya Jual Korek-Berharta Rp217 T dari Spotify
CNN EKONOMI   | April 20, 2025
8   0    0    0
Jakarta, CNN Indonesia --
Bermimpilah karena siapa tahu itu bisa membawamu menjadi kenyataan. Seperti itu pula mungkin yang terjadi pada Martin Lorentzon.
Pernah bermimpi menjadi miliarder pada masa kanak-kanak, kini dia berhasil menjadi triliuner.
Forbes mencatat, Lorentzon memiliki kekayaan US$12,9 miliar atau Rp217,54 triliun (Kurs Rp16.863 per dolar AS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekayaan itu menempatkannya menjadi orang terkaya nomor 189 dunia pada saat ini.
Lalu siapa sejatinya Martin Lorentzon?
Mengutip berbagai sumber, Lorentzon merupakan pengusaha asal Swedia kelahiran 1 April 1969 dari latar belakang ibu seorang guru dan ayah seorang ekonom. 
Sejak kecil, Lorentzon sudah memiliki mimpi besar atas hidupnya; ingin menjadi kaya raya. Mimpi besar, bahkan sudah ia miliki saat ia baru duduk di bangku sekolah.
Kepada teman-temannya di Sekolah Dasar Särlaskolan, Lorentzon menceritakan ingin menjadi miliarder.
Tapi saat itu ia ingin kaya dengan menjuak kotak korek api kepada setiap orang Tiongkok. Ia juga kerap berbagi impian ini dengan  orang-orang terdekatnya. 
Selepas menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia melanjutkan sekolah ke jurusan teknik Sven Ericsongymnasiet.
Di masa ini, Lorentzon sejatinya seperti remaja lainnya; senang mengikuti pesta dan berbagai hiburan.
Namun, tidak seperti teman-temannya yang sering larut dalam kesenangan dan hiburan, ia tetap ingat dan mengutamakan pendidikan.
Martin karena itu memilih tidak menghadiri pesta yang berbenturan dengan jadwal ujiannya.
Ia selalu memakai alasan sakit, tidak enak badan agar tak perlu ikut pesta. Karena pentingnya pendidikan itulah, ia tak menghentikan sekolahnya di level sekolah menengah atas.
Pada 1990, Lorentzon melanjutkan studinya di Chalmers University of Technology. Di sini ia belajar ekonomi industri dan kemudian menyelesaikannya dengan gelar Master of Science dan teknik.
Tak hanya itu, ia juga mengikuti kursus ekonomi di Gothenburg School of Business, Economics and Law. Lorentzon juga belajar ekonomi di Stockholm School of Economics dan mengambil kursus retorika dan argumentasi di Stockholm University.
Pada 1995, ia kemudian mulai bekerja di perusahaan telepon bernama Telia.  Namun itu tak lama. Ia memutuskan untuk pindah ke San Fransisco.
Di sini, ia melanjutkan perjalanan kariernya ke perusahaan mesin pencari AltaVista. Di sinilah ia bertemu dengan para pengusaha berbakat.
Saat di Silicon Valley, ia bertemu dengan Felix Hagnö, putra pemilik merek pakaian Swedia.
Mereka menjalin persahabatan dan merintis bisnis bersama dengan mendirikan Tradedoubler, perusahaan pemasaran digital ternama pada 1999.
Dalam waktu singkat, perusahaan mereka berhasil merambah seluruh pasar Eropa, memiliki 15 kantor di beberapa negara dan beroperasi di lebih dari 80 negara di seluruh dunia.
Sejak 2005 Tradedoubler AB terdaftar di Bursa Efek Stockholm. Di tengah perkembangan pesat itu, ia malah menjual sahamnya Tradedoubler seharga US$70 juta .
Ia kembali ke Swedia. Di sini ia bertemu dengan Daniel Ek yang saat itu merupakan pengusaha dan ahli teknologi.
Meskipun memiliki keahlian dan kepribadian yang berbeda, keduanya langsung cocok dan menjadi teman. Tahun itu, mereka menghabiskan sebagian besar waktu di apartemen Ek untuk mendiskusikan ide bisnis.
Selama nongkrong, keduanya secara teratur mendengarkan musik di sistem home theater milik Ek. Namun, mereka dihadapkan pada rumitnya menemukan dan mengunduh musik yang dimau.
Saat itu, memang ada Napster yang sedang merajai dan memungkinkan orang mengunduh musik (secara ilegal) secara gratis.
Tapi, mereka terusik dengan hal itu. Mereka karena itu kemudian mencari cara bagaimana bisa mudah dan murah mengakses musik, secara legal, tanpa repot mengunduhnya apalagi secara ilegal.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak mereka; membangun platform streaming. Pada 2008, Ek dan Lorentzon mulai mengembangkan Spotify, platform streaming musik.
Hanya dengan US$10 per bulan, pengguna dapat mengakses lebih dari 30 juta lagu tanpa repot.
Spotify meledak. Pada 15 September 2010, Spotify mencapai 10 juta pengguna.
Jumlah melesat jadi 144 juta pelanggan berbayar dan 320 juta pengguna aktif bulanan pada 2020.
Pada Maret 2021 jumlah pengguna gratis 198 juta, dan anggota Premium 158 juta. Jumlah total anggota adalah 356 juta.
Pada Maret 2024, jumlah itu melesat. Spotify memiliki lebih dari 615 juta pengguna aktif bulanan, termasuk 239 juta pelanggan berbayar.
Perkembangan pesat itulah yang membuat pundi-pundi kekayaan Lorentzon menggelumbung sehingga bisa kaya raya seperti sekarang ini.
komentar
Jadi yg pertama suka