Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Deretan Kebijakan RI yang Disorot Pemerintahan Trump sebagai Hambatan Perdagangan
TEMPO BISNIS   | 10 jam yang lalu
10   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sedang menyentil negara-negara mitra yang dianggap mempunyai sejumlah kebijakan penghambat perdagangan. Tercatat ada 59 negara di berbagai belahan dunia yang menjadi sorotan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), salah satunya Indonesia.
Berdasarkan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, USTR menyatakan beberapa kebijakan impor Indonesia, baik tarif maupun non-tarif, sebagai salah satu faktor yang dapat menghalangi aktivitas perdagangan. Selain itu, USTR juga menyinggung hambatan teknis, pengadaan pemerintah, hingga perlindungan hak kekayaan intelektual. 
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) pada 16 Juli 1996. TIFA merupakan mekanisme utama untuk membahas masalah perdagangan dan investasi antara kedua negara,” tulis USTR dalam laporan yang dirilis pada Senin, 31 Maret 2025 tersebut. Lantas, apa saja kebijakan yang disoroti oleh pemerintahan AS tersebut? 

Tarif

USTR menyebut para pemangku kepentingan AS khawatir akan penerapan tarif Indonesia yang melebihi tarif Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk kategori produk-produk teknologi informasi dan komunikasi tertentu pada 2024. Misalnya, ketika WTO menetapkan tarif nol persen untuk subpos di bawah kode harmonized system (HS) 8517 (peralatan switching dan routing), Indonesia justru menerapkan bea masuk sebesar 10 persen. 
Selain itu, USTR turut menyoroti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2024 yang membebaskan pajak penjualan barang mewah untuk kendaraan listrik dengan baterai dalam bentuk utuh (CBU) dan utuh (CKD). Kemudian, PMK Nomor 10 Tahun 2024 yang menyatakan akan membebaskan bea masuk jika produsen kendaraan listrik membangun atau berinvestasi di fasilitas produksi mobil listrik di Indonesia. 

Sistem Perpajakan

Para pemangku kepentingan AS juga menyatakan kekhawatiran atas proses penilaian pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kekhawatiran tersebut mencakup proses audit yang tidak transparan dan rumit, denda tinggi untuk kesalahan administratif, mekanisme sengketa yang berbelit-belit, dan kurangnya penegakan hukum.
“Rezim cukai di Indonesia saat ini mengenakan tarif cukai yang lebih tinggi pada minuman beralkohol impor dibandingkan minuman beralkohol domestik,” demikian petikan laporan USTR. 

Lisensi Impor

Para pemangku kepentingan AS mengatakan keprihatinan mengenai kurangnya konsultasi oleh pemerintah Indonesia mengenai kebijakan sistem perizinan impor. Selain itu, perluasan ke produk baru dengan pengumuman yang singkat dan implementasi yang tidak konsisten oleh pemerintah RI dianggap menyebabkan terjadinya penundaan dalam mengantongi izin impor. 
“Tantangan besar khususnya di awal setiap tahun kalender, ketika perusahaan dituntut untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan baru atau amandemen yang dikeluarkan dengan sedikit atau tanpa peringatan apa pun,” tulis USTR. 

Produk Pertanian

USTR menganggap Indonesia menerapkan kebijakan perizinan yang rumit dan memberatkan untuk produk impor hortikultura, hewan, dan produk hewani. Pada 2013, Amerika Serikat menggugat pembatasan Indonesia berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa WTO, lantaran pemerintah RI berulang kali gagal mengatasi sanksi AS. 
“Pada 22 Desember 2016, WTO menerbitkan laporan panel yang menyatakan AS dan penggugat bersama Selandia Baru menang atas semua 18 klaim, serta menyatakan Indonesia menerapkan pembatasan dan larangan impor yang tidak sesuai dengan aturan WTO,” tulis USTR. 

Pembatasan Impor

Selain produk pertanian, Indonesia menerapkan kontrol ketat atas impor komoditas tertentu melalui kebijakan pembatasan impor kuantitatif tahunan berdasarkan prakiraan produksi dalam negeri. Pembatasan impor tersebut bertujuan untuk melindungi industri lokal, tetapi dianggap memiliki implikasi signifikan terhadap akses bagi eksportir AS dan negara-negara lainnya. 
“Misalnya, pabrik gula hanya diizinkan mengimpor gula mentah untuk memproduksi gula rafinasi bagi industri makanan dan minuman,” tulis USTR dalam laporannya. 

Akses Pasar Farmasi

Industri farmasi AS menyatakan kegelisahan atas peluang keterlibatan pemangku kepentingan yang berani dalam sistem pengadaan farmasi di Indonesia. Para pengusaha farmasi dari Negeri Paman Sam melaporkan kurangnya transparansi dalam pemilihan produk farmasi yang didaftarkan secara khusus pada katalog pengadaan.
“Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1010/2008 mengharuskan perusahaan farmasi asing untuk memproduksi di dalam negeri atau mempercayakan perusahaan lain yang telah terdaftar sebagai produsen di Indonesia untuk mendapatkan persetujuan obat dan izin impor atas namanya,” tulis USTR. 

Perdagangan Negara

USTR juga menyinggung pembatasan impor jagung pakan ternak, yang membatasi hak impor Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Selain itu, USTR menyoroti kewenangan eksklusif Bulog untuk mengimpor beras pecah standar 15 hingga 25 persen. 
“Mereka (perusahaan AS) telah menyatakan kekhawatiran bahwa mereka tidak dapat memperoleh pakan jagung dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan pertumbuhan industri perunggasan,” tulis USTR. 

Bea Cukai dan Fasilitasi Perdagangan

Perusahaan-perusahaan asal AS melaporkan tantangan atas praktik bea cukai di Indonesia, terutama berhubungan dengan penilaian bea masuk. Tak hanya itu, USTR menggarisbawahi pengenaan sanksi atas pelanggaran hukum kepabeanan hingga 50 persen dari nilai barang atau jumlah bea yang terutang. 
“Berdasarkan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, Indonesia harus menghindari pemberian insentif untuk penetapan atau penagihan sanksi yang lebih besar daripada yang sepadan dengan tingkat dan beratnya pelanggaran. – Sistem ini menjadi perhatian karena potensi korupsi dan biaya, ketidakpastian, serta kurangnya transparansi,” tulis USTR. 

Standar dan Persyaratan Pengujian Produk Impor

USTR menyampaikan bahwa Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 24 Tahun 2013 mewajibkan mainan impor untuk diuji oleh laboratorium yang memiliki perjanjian pengakuan bersama (MRA) dengan lembaga sertifikasi produk Indonesia. Kebijakan tersebut dianggap diskriminatif. 
“Para pemangku kepentingan AS telah menyatakan kekhawatiran tentang frekuensi pengujian yang diskriminatif berdasarkan peraturan ini, yang diwajibkan berdasarkan setiap pengiriman untuk impor, tetapi hanya setiap enam bulan untuk produk yang dibuat di Indonesia,” tulis USTR. 

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

USTR juga mempermasalahkan produk-produk bajakan yang banyak ditemui di Pasar Mangga Dua. Mereka bahkan menyebut pasar di kawasan Jakarta Utara itu telah terdata dalam daftar Tinjauan Pasar Terkenal untuk Pemalsuan dan Pembajakan 2024. 
“Pembajakan hak cipta dan pemalsuan merek dagang yang meluas (termasuk di pasar daring dan fisik) menjadi perhatian utama,” tulis USTR. 

Hambatan Layanan

Dalam NTE Report on Foreign Trade Barriers 2025, USTR merinci beberapa kebijakan di bidang pelayanan yang dinilai berpotensi menghambat perdagangan dan investasi, meliputi layanan audiovisual, pengiriman cepat, layanan keuangan, kesehatan, waralaba dan distribusi ritel, serta telekomunikasi. 
“Secara keseluruhan, praktik perizinan Indonesia menimbulkan hambatan signifikan terhadap impor ponsel, perangkat genggam, dan perangkat elektronik lainnya,” demikian petikan laporan USTR pada bagian hambatan layanan telekomunikasi. 

Perdagangan Elektronik dan Digital

USTR menganggap pemberlakuan bea masuk pada produk digital akan menimbulkan masalah serius terhadap komitmen Indonesia terhadap WTO. Selain itu, USTR juga menyoroti kebijakan pemerintah RI yang mengancam akan memberikan pemblokiran akses pada operator sistem elektronik (ESO) yang tidak menghapus konten dilarang. 
“Pemangku kepentingan AS telah menyuarakan kegelisahan atas kurangnya kejelasan mengenai konten apa saja yang termasuk dalam cakupan konten terlarang,” tulis USTR. 

Energi dan Pertambangan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010, sebagaimana diubah dengan PP Nomor 27 Tahun 2017 dan PP Nomor 93 Tahun 2021 memberikan kewenangan yang signifikan kepada pemerintah Indonesia untuk mengubah ketentuan kontrak bagi hasil. Hal tersebut, menurut USTR, menimbulkan kurangnya transparansi.
“Kemampuan pemerintah untuk mengubah ketentuan tersebut menimbulkan kompleksitas operasional, ketidakpastian, risiko, dan biaya tambahan bagi proyek minyak dan gas bumi (migas). Selain itu, pemerintah RI juga dapat mengenakan biaya maksimum kepada perusahaan migas, seperti gaji serta barang dan jasa, sehingga membatasi fleksibilitas perusahaan dalam hal perekrutan dan pengadaan,” tulis USTR. 
komentar
Jadi yg pertama suka