Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Serba-serbi Produk Halal dan Sertifikasinya: Bahan Baku hingga Distribusi
TEMPO BISNIS   | 16 jam yang lalu
3   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat melayangkan protes terhadap kebijakan sertifikasi halal Indonesia (beleid produk halal) yang dinilai terlalu ketat dan menjadi hambatan perdagangan bagi produk-produk impor.
Dalam laporan tahunan berjudul Foreign Trade Barriers Report 2025, Washington, antara lain lewat USTR, menuding bahwa berbagai aturan yang diberlakukan pemerintah Indonesia, mulai dari keharusan sertifikasi produk halal hingga prosedur akreditasi lembaga asing, telah membatasi akses pasar bagi produk dari luar negeri.
Indonesia juga dinilai tidak cukup transparan dalam menyusun dan menerapkan kebijakan tersebut, bahkan dianggap melanggar komitmen perdagangan internasional yang tertuang dalam perjanjian World Trade Organization (WTO).
Di sisi lain, Indonesia telah memberlakukan kebijakan ketat mengenai sertifikasi halal. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan lebih diperinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024.
Dalam aturan tersebut, seluruh produk yang beredar di Indonesia, baik produksi dalam negeri maupun impor, wajib memiliki sertifikat halal. Untuk memahami lebih dalam, berikut ini adalah persyaratan utama dalam sertifikasi halal berdasarkan PP tersebut.

Bahan Baku

Aspek pertama yang menjadi perhatian dalam sertifikasi halal adalah kehalalan bahan baku. PP No. 42 Tahun 2024 Pasal 3 dan 70 menyatakan bahwa hanya produk yang menggunakan bahan halal dan memenuhi proses halal yang bisa mendapatkan sertifikasi.
Pelaku usaha harus menyertakan daftar bahan yang digunakan, dan setiap bahan tersebut harus disertai bukti berupa sertifikat halal. Meski demikian, ada pengecualian untuk bahan-bahan alami yang dianggap halal.
“…a. berasal dari alam berupa tumbuhan dan bahan tambang tanpa melalui proses pengolahan; b. dikategorikan tidak berisiko mengandung Bahan yang diharamkan; dan/atau c. tidak tergolong berbahaya serta tidak bersinggungan dengan Bahan haram,” bunyi pasal 70 ayat (2), menjelaskan kategori bahan yang termasuk halal namun boleh tidak bersertifikat.
Untuk bahan yang berasal dari hewan sembelihan, Pasal 71 mengatur secara rinci bahwa hewan harus disembelih sesuai dengan syariat Islam dan prinsip kesejahteraan hewan, serta dilakukan oleh juru sembelih halal resmi di rumah potong yang sah. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa aspek halal terpenuhi secara menyeluruh dari hulu ke hilir.

Alat Produksi

Bukan hanya bahan, alat dan tempat produksi juga menjadi fokus utama dalam proses sertifikasi. Pasal 6 hingga 21 menekankan bahwa alat yang digunakan dalam seluruh tahapan, mulai dari penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, hingga penyajian harus dipisahkan secara fisik dari alat-alat untuk produk non-halal.
Peralatan juga harus memenuhi syarat kebersihan, tidak terkontaminasi najis, dan disediakan sarana pembersihan serta penyimpanan tersendiri. Misalnya, alat pengemasan makanan halal tidak boleh digunakan bergantian dengan produk non-halal dan harus dibersihkan menggunakan sarana terpisah yang bebas kontaminasi.
Langkah ini bukan semata-mata formalitas, tapi bagian dari Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) yang berfungsi menjaga konsistensi halal dalam seluruh proses produksi.

Distribusi dan Transportasi

Tahapan terakhir yang diawasi dalam sertifikasi halal adalah proses distribusi produk. Menurut Pasal 16 dan 17, tempat dan alat transportasi untuk distribusi produk halal harus dipisahkan dari produk non-halal, baik dalam hal kendaraan pengangkut, gudang, maupun alat pemindah.
Jika kendaraan atau alat transportasi sebelumnya digunakan untuk produk tidak halal, maka pelaku usaha wajib menyediakan surat pernyataan bahwa alat telah dibersihkan dan tidak digunakan kembali tanpa prosedur sanitasi yang sesuai.
Selain itu, dalam penjualan dan penyajian di tempat umum seperti restoran, kios, atau gerai makanan, alat dan area penyajian halal juga harus dipisahkan dan bebas dari risiko pencampuran.
Dengan aturan ini, pemerintah Indonesia tidak hanya menekankan sertifikasi halal sebagai identitas, tetapi sebagai bentuk jaminan perlindungan konsumen dan penegakan standar syariah dalam dunia usaha.
komentar
Jadi yg pertama suka