Ekonomi & Bisnis
Co-Payment Asuransi Kesehatan Ditunda. Bagaimana Skema Awalnya?
TEMPO BISNIS
| 20 jam yang lalu
6 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksanaan ketentuan co-payment atau pembagian beban klaim asuransi kesehatan sebesar 10 persen telah secara resmi ditunda. Keputusan ini diambil dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, pada hari Senin, 30 Juni 2025.
Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 yang awalnya direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2026, akan digantikan oleh Peraturan OJK (POJK) yang lebih komprehensif.
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa penundaan ini akan berlangsung hingga POJK yang baru diterbitkan. “OJK menunda implementasi surat edaran hingga POJK dilaksanakan,” ujar Misbakhun. Ia menambahkan bahwa proses pembuatan peraturan baru ini akan melibatkan pihak industri dan stakeholders lain untuk menciptakan pendekatan yang lebih menyeluruh.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, mengungkapkan bahwa mereka akan mematuhi keputusan tersebut. “Kami akan mengikuti. Ini adalah rekomendasi dari Komisi XI yang mengawasi kami,” katanya.
Ogi menjelaskan bahwa peraturan tersebut berawal dari permintaan industri dan situasi sektor asuransi yang kurang sehat, dengan rasio klaim hampir mencapai 100 persen. “Ini adalah kepentingan bersama (industri asuransi dan OJK). OJK juga menjaga kondisi ini, karena jika dibiarkan, tidak akan sehat,” jelas Ogi. Bagaimana skema sebelumnya?
Skema Awal Co-payment Asuransi
Berdasarkan laporan Tempo bertajuk “Lobi-lobi di Balik Skema Berbagi Beban Klaim Asuransi” pada 22 Juni 2025, terbit surat edaran yang berisi kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rencana pemberlakuan skema tanggung renteng klaim (co-payment). Selain kebijakan, surat tersebut juga OJK mewajibkan perusahaan asuransi kesehatan memiliki Dewan Penasihat Medis (DPM).
Dewan ini bertugas untuk memberi nasihat kepada perusahaan asuransi dalam telaah utilisasi terhadap klaim layanan kesehatan yang diajukan rumah sakit. DPM berisi para dokter spesialis dari berbagai disiplin ilmu yang dipilih sesuai dengan kebutuhan perusahaan asuransi. DPM dapat dibentuk secara mandiri atau lewat kerja sama perusahaan asuransi.
Kemudian, OJK menerbitkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 pada 19 Mei 2025 lalu yang berisi OJK mewajibkan nasabah menanggung sebagian biaya layanan medis paling sedikit 10 persen dari biaya klaim. Namun, beban co-payment nasabah dibatasi maksimal Rp300 ribu per klaim untuk layanan rawat jalan dan maksimal Rp 3 juta per klaim untuk rawat inap.
Karut-marut Aturan Co-payment
Dalam perjalanan proses ini, peraturan ini menghadapi karut-marut kebingungan. Ogi mengakui adanya penggunaan berlebihan layanan kesehatan, terutama di rumah sakit, yang menjadi salah satu penyebab utama inflasi di bidang medis. OJK juga menerima laporan yang menunjukkan bahwa 5 persen dari klaim asuransi di sektor kesehatan di Indonesia terdapat indikasi penipuan dengan berbagai metode.
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, menyatakan bahwa masalah seperti penggunaan berlebihan harus ditangani oleh perusahaan asuransi bersama rumah sakit, bukan oleh konsumen. Terlebih lagi, ia menekankan bahwa pasien tidak mempunyai kapasitas untuk menilai kelayakan prosedur dan layanan medis yang seharusnya mereka terima.
Menurut Rio, alih-alih mengeluarkan aturan co-payment, OJK seharusnya terlebih dahulu fokus pada pengawasan proses klaim asuransi.
Adil Al Hasan, Ghoida Rahmah, dan Anastasya Lavenia berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
komentar
Jadi yg pertama suka