Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Harga Beras Terus Naik Meski Surplus, Pengamat: Bukan Anomali, Tapi Salah Urus
TEMPO BISNIS   | Juli 15, 2025
6   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - Harga beras terus naik sepanjang 2025, bahkan melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Lonjakan ini terjadi di tengah klaim produksi beras dalam negeri yang disebut melimpah.
Menurut pengamat pertanian Khudori, kondisi ini bukan anomali, melainkan konsekuensi dari kebijakan yang saling bertabrakan dan gagal mengatur pasar. “Saya melihatnya tidak ada anomali. Sebetulnya sangat jelas penyebabnya. Apa yang terjadi hari ini adalah dampak dari kebijakan perberasan yang dibuat pemerintah sejak Januari lalu. Kebijakannya buruk,” ujar Khudori dalam forum diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Senin, 14 Juli 2025 melalui Zoom Meeting Conference.
Ia menjelaskan, Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No 2/2025 menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen dari Rp 6.000 menjadi Rp 6.500 per kilogram. Kenaikan ini tidak disertai dengan penyesuaian HET untuk beras medium dan premium. Akibatnya, harga beras di pasar terus merangkak naik.
Khudori juga menyoroti Instruksi Presiden No 6/2025 yang memerintahkan Bulog dan swasta membeli beras dari petani tanpa memperhatikan kualitas. Ketentuan ini mendorong petani melakukan panen dini dan menjual gabah berkualitas rendah dengan kadar air tinggi. “Terus terang, petani sangat diuntungkan dengan kewajiban ini. Tapi, ini kebijakan yang tidak mendidik. Kebijakan yang membuka perilaku culas, moral hazard. Itu terasa betul di awal-awal penyerapan, di Februari-Maret,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah menghentikan sementara penyaluran bantuan pangan dan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sejak Februari 2025. Padahal, kebijakan tersebut telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas bersama Presiden pada November 2024. 
Harga beras terus naik sepanjang 2025, bahkan melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Lonjakan ini terjadi di tengah klaim produksi beras dalam negeri yang disebut melimpah. Menurut pengamat pertanian Khudori, kondisi ini bukan anomali, melainkan konsekuensi dari kebijakan yang saling bertabrakan dan gagal mengatur pasar.
“Saya melihatnya tidak ada anomali. Sebetulnya sangat jelas penyebabnya. Apa yang terjadi hari ini adalah dampak dari kebijakan perberasan yang dibuat pemerintah sejak Januari lalu. Kebijakannya buruk,” ujar Khudori dalam forum diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Senin, 14 Juli 2025 melalui Zoom Meeting Conference.
Ia menjelaskan, Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No 2/2025 menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen dari Rp 6.000 menjadi Rp 6.500 per kilogram. Kenaikan ini tidak disertai dengan penyesuaian HET untuk beras medium dan premium. Akibatnya, harga beras di pasar terus merangkak naik.
Khudori juga menyoroti Instruksi Presiden No 6/2025 yang memerintahkan Bulog dan swasta membeli beras dari petani tanpa memperhatikan kualitas. Ketentuan ini mendorong petani melakukan panen dini dan menjual gabah berkualitas rendah dengan kadar air tinggi. “Terus terang, petani sangat diuntungkan dengan kewajiban ini. Tapi, ini kebijakan yang tidak mendidik. Kebijakan yang membuka perilaku culas, moral hazard. Itu terasa betul di awal-awal penyerapan, di Februari-Maret,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah menghentikan sementara penyaluran bantuan pangan dan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sejak Februari 2025. Padahal, kebijakan tersebut telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas bersama Presiden pada November 2024.
Khudori menilai lonjakan harga beras juga dipicu penyerapan surplus produksi oleh Bulog yang tidak diikuti dengan penyaluran ke pasar. Sementara itu, pelaku swasta hanya mendapatkan sisa stok. Kondisi ini membuat pasokan di pasar menipis meski stok pemerintah mencetak rekor tertinggi. “Tugas pemerintah bukan hanya memastikan stok, melainkan juga mengendalikan harga,” tegas dia.
Ratusan ribu penggilingan dan pedagang beras swasta semakin terjepit. Mereka hanya menguasai sekitar 600 ribu ton dari total produksi nasional sebesar 18,76 juta ton pada Januari-Juni 2025. “Kalau mereka menambah stok dengan membeli gabah dengan harga Rp 7.000-8.000, itu pasti melampaui HET. Kalau menjual di atas HET, digaruk oleh Satgas Pangan. Kalau menjual sesuai HET, berpotensi rugi,” jelasnya.
Menurut Khudori, pasokan pedagang yang menipis memberi dampak langsung terhadap pasar. Jika biasanya pasokan berjalan normal, kini hanya tersisa sepertiga dari kondisi ideal. “Data BPS awal tahun ini menunjukka beras sudah menjadi penyumbang inflasi,”  ujar Khudori.
komentar
Jadi yg pertama suka