Ekonomi & Bisnis
Tanggapan Menteri Komunikasi tentang Transfer Data Pribadi ke Amerika
TEMPO BISNIS
| Juli 26, 2025
7 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Viada Hafid mengatakan praktik transfer data pribadi lintas negara merupakan hal yang lazim terjadi. Ia mencontohkan, negara-negara yang tergabung dalam G7 seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, dan Britania Raya telah lama mengadopsi mekanisme ini secara aman dan andal.
Pernyataan Meutya ihwal transfer data lintas negara ini untuk menjawab ketakutan publik soal klausul Perjanjian Dagang Resiprokal antara Amerika Serikat dan Indonesia. Dia meminta pemilik data pribadi di Indonesia tidak usah risau karena pemerintah pasti menjaga kedaulatan dan hak digital warganya.
“Pengaliran data antarnegara tetap dilakukan di bawah pengawasan ketat otoritas Indonesia, dengan prinsip kehati-hatian dan berdasarkan hukum nasional,” kata Meutya melalui keterangan tertulisnya, dikutip Sabtu, 26 Juli 2025. Ia juga membeberkan landasan hukum untuk kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Menurut Meutya, Indonesia perlu mengambil posisi yang sejajar dalam praktik transfer data lintas negara itu dengan kelompok G7. Namun, dalam realisasinya seluruh proses tetap dilakukan dalam kerangka secure dan reliable data governance, tanpa mengorbankan hak-hak warga negara. “Transfer data pribadi lintas negara di masa depan adalah keniscayaan,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum menganggap klausul transfer data pribadi dalam Perjanjian Dagang Resiprokal Amerika Serikat adalah kebijakan yang berbahaya. Menurut dia, komitmen ini merenggut hak-hak digital dan kedaulatan data masyarakat Indonesia karena ditransfer ke negara lain tanpa seizin pengguna tersebut.
“SAFEnet memandang kesepakatan Indonesia dengan Amerika Serikat berisiko menjadikan data pribadi sebagai komoditas dagang,” kata Nenden kepada Tempo, Sabtu, 26 Juli 2025. Ia mendesak pemerintah menjelaskan kepada publik soal dasar hukum dan jaminan perlindungan hak warga atas data pribadinya imbas kesepakatan dagang ini.
Menurut Nenden, kesepakatan internasional serupa itu tidak seharusnya diterbitkan tanpa adanya kesepakatan antara pemilik data dengan perusahaan atau negara tertentu. Kemudian, kata dia, kesepakatan ini juga jauh dari kesan transparansi serta keterlibatan publik dalam pembahasannya.
Dalam konteks perjanjian dagang ini, ia menilai bahwa kesepakatan transfer data itu dapat menjadi dasar legal bagi perlindungan data pribadi warga negara Indonesia, ketika menggunakan layanan digital yang disediakan oleh perusahaan berbasis di Amerika Serikat. “Seluruh proses dilakukan dalam kerangka secure and reliable data governance, tanpa mengorbankan hak-hak warga negara,” ucap dia.
Adapun soal transfer data pribadi warga negara Indonesia ke Amerika Serikat itu tertuang dalam pernyataan bersama atau joint statement yang dirilis laman resmi pemerintah Amerika Serikat, pada Selasa, 22 Juli 2025 waktu setempat.
Dalam dokumen tersebut, terdapat 12 poin utama. Salah satu poin menyebutkan, Indonesia berkomitmen menghapus hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital. “Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” tertulis dalam dokumen resmi di laman White House.
Perjanjian itu juga mencantumkan komitmen Indonesia untuk menghapus tarif dalam Harmonized Tariff Schedule (HTS) atas produk tak berwujud dan menangguhkan persyaratan deklarasi impor. Pemerintah AS menilai langkah ini mendukung moratorium permanen atas bea masuk transmisi elektronik di World Trade Organization (WTO) secara segera dan tanpa syarat.
HTS merupakan sistem klasifikasi barang impor yang digunakan AS untuk menentukan bea masuk dan mengumpulkan data statistik perdagangan. Setiap barang impor diberi kode HTS unik sebagai dasar perhitungan tarif dan kuota.
komentar
Jadi yg pertama suka