Ekonomi & Bisnis
Sritex Pailit dan Ramalan Mendiang Faisal Basri soal Kejatuhan Tekstil
CNN EKONOMI
| Oktober 29, 2024
14 0 0
0
Jakarta, CNN Indonesia --
Mendiang Faisal Basri pernah 'meramalkan' kebangkrutan pabrik tekstil Cs, jauh sebelum PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex dinyatakan pailit.
Prediksi ekonom senior itu bukan tanpa dasar. Faisal menyoroti kinerja Kementerian Perindustrian yang dianggap tak berdampak ke sektor industri, termasuk untuk tekstil dan produk tekstil (TPT).
"Banyak perusahaan bangkrut, bukan hanya keramik. Banyak yang bangkrut, tekstil bangkrut. Belum bisa pulih dari covid-19, program restrukturisasinya sudah selesai, yang ndak bisa restrukturisasi ya sudah dia bangkrut, dijual," kata Faisal dalam Diskusi Publik di Jakarta Selatan, Selasa (16/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang menterinya (Menperin Agus Gumiwang) sibuk kampanye, petinggi Golkar, mana ngurusin (nasib industri)? Anda pernah dengar menteri perindustrian bikin pernyataan? Jarang dia, mungkin enggak semua Anda tahu nama menteri perindustrian siapa," tegasnya.
Saat itu, Faisal menyebut industri tanah air sedang limbung alias goyah. Ia menegaskan nasib buruk tersebut bahkan dialami hampir seluruh sektor industri di Indonesia.
Sang ekonom senior itu juga melihat industri di Indonesia tidak terdiversifikasi. Ini tercermin dari sumbangsih sejumlah sektor terhadap produk domestik bruto (PDB) industri non-migas, di mana terkonsentrasi pada makanan dan minuman serta kimia dan farmasi.
'Ramalan' Faisal menjadi kenyataan. Putusan perkara pengadilan negeri nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Semarang pada Senin (21/10) menjadi bukti sahih raksasa tekstil Sritex pailit.
Sritex melawan. Mereka mengajukan kasasi dan menegaskan operasional perusahaan masih tetap berjalan.
Namun, 'sakit' di tubuh raksasa tekstil itu tak bisa ditutupi. Emiten berkode SRIL itu punya utang menggunung, yakni sekitar US$1,6 miliar atau Rp25 triliun (asumsi kurs Rp15.695 per dolar AS) kepada 28 bank.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan Presiden Prabowo Subianto sudah meminta empat kementerian untuk bergerak menyelamatkan karyawan Sritex dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah agar operasional perusahaan tetap berjalan dan pekerja bisa diselamatkan dari PHK," katanya dalam keterangan resmi, Jumat (25/10).
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengamini banyak kritik menyasar Agus Gumiwang. Ia menegaskan ucapan-ucapan pedas itu bukan tanpa dasar.
Menurut Achmad, Agus menggambarkan betapa lemahnya upaya pemerintah. Ini terutama dalam rangka menyelamatkan sektor yang sangat membutuhkan perhatian.
"Dengan menperin yang sama seperti di era Presiden Joko Widodo, harapan untuk melihat perubahan signifikan dalam penanganan krisis di industri tekstil, termasuk kasus Sritex dan sektor padat karya lainnya tampak minim," ucap Achmad kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/10).
"Sektor tekstil dan padat karya membutuhkan tindakan yang tidak hanya cepat, melainkan juga komprehensif dan inovatif. Tanpa adanya figur yang memiliki keberanian dan visi baru untuk membawa perubahan mendasar, masalah yang dihadapi industri ini hanya akan berlarut-larut," wanti-wanti Achmad.
Sementara itu, Achmad melihat upaya Agus dan jajarannya hanya bersifat reaktif, bukan proaktif. Ia menilai ini justru berpotensi semakin memperburuk kondisi industri dalam jangka panjang.
Ia menegaskan ada efek domino yang bisa mengguncang seluruh sektor industri garmen di Indonesia. Achmad menyebut Sritex adalah salah satu ikon kebanggaan industri tekstil nasional yang tak hanya beroperasi di pasar domestik, tetapi juga dikenal di kancah global.
"Pemerintah harus segera mengeluarkan paket bantuan sosial khusus untuk pekerja di sektor garmen yang terdampak. Program, seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi bagi keluarga yang kehilangan penghasilan harus segera disalurkan untuk mencegah terjadinya krisis sosial yang lebih luas," saran Achmad.
"Selain itu, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) harus diperluas agar para pekerja dapat mengakses peluang pekerjaan di sektor lain. Misalnya, pekerja garmen yang memiliki keterampilan menjahit atau produksi tekstil dapat dilatih untuk beralih ke industri lain yang sedang berkembang, seperti industri kreatif atau teknologi," imbuhnya.
Di lain sisi, ia mendesak Presiden Prabowo Subianto segera berkoordinasi dengan perbankan dan lembaga keuangan. Langkah ini diharapkan bisa merestrukturisasi utang yang lebih fleksibel bagi perusahaan tekstil yang kesulitan, termasuk Sritex.
Pemerintah juga diminta memberikan insentif pajak dan subsidi energi bagi perusahaan tekstil agar bisa menurunkan biaya produksi. Biaya produksi yang lebih rendah akan membantu perusahaan-perusahaan padat karya ini bertahan dan tetap kompetitif di pasar global.
"Badai PHK di sektor garmen, terutama dengan kepailitan Sritex adalah sebuah krisis yang tidak bisa dianggap remeh. Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga mengguncang industri tekstil secara keseluruhan. Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih memiliki tanggung jawab besar untuk menavigasi Indonesia melalui krisis ini," pesannya kepada Prabowo.
"Industri ini memiliki potensi besar untuk tetap menjadi salah satu pilar penting ekonomi nasional, namun membutuhkan intervensi yang cepat dan tepat dari pemerintah untuk dapat bertahan serta berkembang di masa depan," tandasnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Perlu Harmonisasi Kebijakan Pemerintah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai kepailitan Sritex menambah daftar panjang masalah yang dihadapi industri padat karya. Terlebih, ini adalah permasalahan yang sudah ada bertahun-tahun lamanya.
"Disebabkan karena tidak harmonisnya kebijakan yang semestinya mendukung industri domestik. Baik kebijakan yang kaitannya dengan akses pasar maupun juga dari sisi biaya produksi," tutur Faisal.
Ia mencontohkan aksi pemerintah yang tidak sinkron. Misalnya, ketika perusahaan ingin memenuhi bahan baku untuk memproduksi orderan.
Faisal melihat pemerintah malah menetapkan tarif impor bahan baku yang mahal dibandingkan mendatangkan pakaian jadi dari luar negeri.
Selain itu, Faisal menyoroti tekanan lain yang dihadapi industri padat karya. Ia mencontohkan bagaimana ada desakan untuk menyejahterakan para buruh, termasuk dari sisi upah.
"Akses pasar domestik ini juga banyak ketidaksinkronan yang menyebabkan malah justru menggerus pasar di dalam negeri untuk industri tekstil. Termasuk di antaranya kontrol terhadap impor, baik yang legal maupun ilegal," kritiknya kepada pemerintah.
"Jadi, masalahnya industri tekstil ini bukan hanya harus bersaing dengan produk impor yang legal, tapi juga ilegal. Ini secara kumulatif, apalagi setelah dihantam pandemi jadi makin membuat susah untuk bisa survive," sambung Faisal.
Ia mendesak pemerintah gerak cepat mengatasi masalah ini. Faisal menegaskan masalah yang dihadapi industri padat karya akan berefek ke sejumlah titik, termasuk peningkatan pengangguran dan masalah sosial baru.
Peneliti Next Policy Dwi Raihan menegaskan industri padat karya Indonesia memang semakin terpuruk. Ini terutama terjadi dalam 10 tahun terakhir alias dua periode kepemimpinan Presiden ke-7 Jokowi.
Ia menyebut TPT, industri kulit serta barang dari kulit, dan alas kaki merupakan sektor yang paling terpukul.
Dwi mengatakan industri tekstil dan pakaian jadi masih berkontribusi sekitar 0,29 persen pada 2010 lalu. Sebelum merosot ke 0,25 persen pada 2023.
"Padahal, industri tekstil banyak menciptakan lapangan pekerjaan. Pemerintah terlalu fokus pada hilirisasi khususnya sektor ekstraktif. Padahal, kontribusi manufaktur Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin menurun. Ini juga menunjukkan gejala deindustrialisasi semakin nampak," jelas Dwi.
Ia lalu menyoroti tergerusnya pasar ekspor akibat persaingan global. Di lain sisi, impor tekstil semakin masif, termasuk indikasi barang ilegal dari China membuat industri TPT Indonesia semakin tergerus.
Dwi meyakini masih ada harapan Prabowo dan jajaran memperbaiki keadaan buruk ini. Namun, kementerian terkait perlu bekerja ekstra karena banyak catatan yang perlu diperbaiki.
"Tidak tumpang tindih antar-kementerian, memberantas impor ilegal, dan memperkuat kepabeanan dapat diterapkan untuk menekan arus impor khususnya impor ilegal. Di sisi lain, pemerintah dapat memberikan perlindungan terhadap industri tekstil dalam negeri, memberikan insentif, dan mempermudah ekspor," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti bangkrutnya perusahaan tekstil lain. Tak cuma Sritex, perusahaan di sektor TPT lainnya sudah banyak yang melakukan PHK dan gulung tikar.
Huda menekankan kondisi ini sudah parah. Sedangkan pemerintah tampak kehabisan ide untuk memberikan stimulus kepada industri TPT, padahal sumbangsihnya ke industri nasional cukup besar.
"Porsi industri TPT terhadap PDB mampu mencapai 5,8 persen. Dalam hal penyerapan tenaga kerja pun cukup besar dengan basis pekerja paling banyak di Jawa Tengah. Jumlah pekerja di sektor TPT lebih dari 3,5 juta tenaga kerja," jelas Huda.
"Maka, penting bagi pemerintahan Prabowo untuk bisa menghentikan laju negatif industri tekstil. Aturan yang melonggarkan impor harap ditertibkan untuk memberikan insentif bagi industri TPT lokal. Bea masuk untuk produk TPT harus dievaluasi, jangan sampai menimbulkan gejolak lebih panjang," sambungnya.
Ia menyebut pailitnya Sritex bukan hanya berdampak ke industri tekstil, melainkan ada multiplier ke sektor lain. Huda mengatakan ekonomi daerah sangat terancam dan berpotensi merosot cukup jauh, seperti Sukoharjo serta daerah pusat tekstil lainnya.
Oleh karena itu, ia berpandangan penyelamatan Sritex dan industri tekstil lain menjadi krusial. Upaya ini sangat diharapkan karena sumbangan industri TPT yang besar terhadap ekonomi dan tenaga kerja Indonesia.
komentar
Jadi yg pertama suka