Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
Benarkah Permendag 8/2024 Bunuh Sritex Cs?
CNN EKONOMI   | Oktober 30, 2024
11   0    0    0
Jakarta, CNN Indonesia --
Industri tekstil dalam negeri sedang sakit. Hal itu semakin jelas terlihat saat raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit.
Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan menyebut ambruknya industri tekstil domestik tak terlepas dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Menurut Iwan, beleid itu membuat sejumlah pelaku usaha industri tekstil terpukul secara signifikan hingga pada akhirnya gulung tikar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, aturan itu disebut-sebut membuat Indonesia terkena tsunami impor tekstil dari China.
"Kalau Permendag 8/2024 itu kan masalah klasik yang sudah tahu. Jadi, lihat aja pelaku industri tekstil ini, banyak yang kena, banyak yang terdisrupsi yang terlalu dalam sampai ada yang tutup," ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana juga menyebut penerbitan Permendag 8/2024 adalah 'kecelakaan parah' dalam sejarah Indonesia.
Ia menuturkan aturan itu memicu keluarnya pasal yang menjadi 'lubang besar' yang memungkinkan barang-barang impor masuk tanpa persetujuan teknis (pertek). Hal ini melanggar kewenangan serta peraturan dari kementerian/lembaga lain.
"Ini menjadi sesuatu bad practices di Indonesia gitu. Tidak bisa dibayangkan sebuah regulasi dari sebuah kementerian teknis mengacaukan kementerian yang lain," tegas Danang dalam diskusi publik INDEF secara daring bertajuk 'Industri Tekstil Menjerit, PHK Melejit', Kamis (8/8) lalu.
Ia pun menduga 26 ribu kontainer itu tak mengikuti prosedur aturan impor sehingga tertahan dan memicu antrean di pelabuhan. Yang seharusnya dilakukan adalah penindakan hukum, bukan meloloskan puluhan ribu kontainer itu.
Menurutnya, merilis kontainer seolah membebaskan para bandit importir untuk masuk menjajah pasar dalam negeri.
Awalnya, aturan impor diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Namun, kemudian diubah menjadi Permendag 8/2024 untuk mengatasi terhambatnya penyaluran bahan baku akibat diperlukannya pertimbangan teknis (pertek) sebagai salah satu persyaratan persetujuan impor.
"Sebagaimana kita ketahui, terdapat penumpukan kontainer di pelabuhan yang disebabkan antara lain kendala perizinan pertimbangan teknis untuk komoditas tertentu," ujar mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Budi Santoso, Mei lalu.
Ia mengatakan bahwa dibutuhkannya pertek sebagai salah satu persyaratan persetujuan impor komoditas tertentu sebelumnya diusulkan oleh Kementerian Perindustrian yang kemudian dicantumkan dalam Permendag Nomor 36 Tahun 2023.
Namun, peraturan yang baru berlaku pada 10 Maret 2024 tersebut ternyata menimbulkan penumpukan kontainer di beberapa pelabuhan utama, seperti Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya, Jawa Timur), dan Tanjung Emas (Semarang, Jawa Tengah).
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, sambung Budi, pihaknya pun merevisi Permendag 36/2023 melalui Permendag 8/2024 sesuai arahan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
"Relaksasi dalam pengaturan impor melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2024 dengan tidak mempersyaratkan pertek lagi dalam proses pengurusan perizinan impornya sehingga permasalahan kontainer yang menumpuk tersebut dapat diselesaikan," kata Budi.
Dengan peraturan baru tersebut, ia menuturkan bahwa impor komoditas elektronik, obat tradisional dan suplemen kesehatan, kosmetik dan perbekalan rumah tangga, alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, serta tas dan katup, tidak lagi memerlukan pertek.
Namun, ia menyampaikan bahwa aturan baru tersebut dikecualikan untuk komoditas dengan kode HS tertentu.
"Selain itu, mengembalikan pengaturan persetujuan impor bagi barang komplementer serta barang untuk keperluan tes pasar dan purnajual sesuai Permendag Nomor 20 Tahun 2021 Jo 25/2022 tanpa memerlukan pertek lagi dari Kementerian Perindustrian," imbuh Budi.
Lantas apakah benar Permendag 8/2024 mengganggu industri tekstil dalam negeri?
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan Permendag 8/2024 memang mengancam industri tekstil domestik karena memudahkan barang impor masuk imbas dihapusnya pertek. Padahal, katanya, saat itu Kementerian Perindustrian sudah menolak pertek dihapus.
"Barang impor yang masuk ke Indonesia harus memenuhi aturan yang berlaku, salah satunya pertek. Ini kan proses penghilangan pertek dilakukan di Permendag 8," katanya.
Karena itu, ia menilai Permendag 8/2024 harus direvisi. Ia mengatakan beleid ini telah memakan korban sebelum Sritex dengan skala usaha yang lebih kecil.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Menurut Andry, barang impor boleh saja masuk ke dalam negeri tetapi tetap harus dibatasi. Terlebih, industri tekstil cukup banyak menyerap tenaga kerja.
"Ini cukup kompleks, tidak bisa satu dua kementerian saja yang ikut campur. Semua harus berkolaborasi. Jangan sampai hanya melihat Sritex, harus dilihat juga industri tekstil secara keseluruhan persoalannya di mana ," katanya.
Senada, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan terdapat perubahan dalam persyaratan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) di Permendag 8/2024.
"Salah satunya ketentuan kemudahan impor TPT dimana setelah terbitnya aturan tersebut, importasi TPT dari Tiongkok melonjak tajam. Yang menyebabkan permintaan produk dalam negeri menurun tajam," katanya.
Jika kita tarik lebih jauh, sambungnya, Permendag 8/2024 diterbitkan untuk mengatasi tumpukan kontainer di pelabuhan. Ia mencurigai ini ada hubungannya dengan kondisi oversupply di China sehingga barang dikirim ke negara lain, termasuk Indonesia.
Jika syarat yang diatur dalam Permendag 36/2023 susah dipenuhi, sambungnya, harusnya importir tidak perlu memesan barangnya karena akan sulit masuk sehingga tidak akan ada tumpukan di kontainer.
"Tapi ini sengaja tertumpuk di pelabuhan yang artinya importir sudah tau akan ada perubahan Permendag 36/2023 ke Permendag 8/2024. Jika importirnya tidak tahu akan diubah, mereka tidak akan memesan barang tersebut. Tapi mereka tetap memesan dan seakan akan tahu bahwa barangnya bisa masuk dengan mudah. Atau bisa jadi barang dikirim sebelum ada pembeli, maka terjadi penumpukan, imbuhnya.

Produk Lokal Kalah Saing

Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai relaksasi impor terutama untuk barang-barang berkategori sama dengan yang dihasilkan industri tekstil dalam negeri jelas ikut berperan besar dalam mendisrupsi sektor manufaktur, utamanya tekstil (TPT).
Pasalnya pasar domestik industri tekstil dalam negeri akan berkurang. Padahal di level Internasional, pasar industri tekstil Indonesia juga tergusur sejak lama, karena kalah bersaing dengan produk dari China, Bangladesh, India, Vietnam, dan lainya.
"Permendag ini memang kurang mewakili persoalan yang ada, justru mempercepat proses deindustrialisasi di sektor tekstil dan sektor manufaktur kita. Nampaknya dikeluarkan untuk kepentingan jangka pendek importir semata, yang ingin mendapatkan keuntungan besar dari barang impor murah," katanya.
Sementara bagi pemerintah, sambungnya, Permendag 8/2024 dianggap cukup membantu untuk menekan angka inflasi, karena produk-produk dari impor biasanya memiliki harga yang jauh lebih rendah, Dengan begitu, harga jual barang-barang di dalam negeri turun yang ujungnya membuat inflasi rendah, bahkan deflasi.
"Perpaduan dua kepentingan jangka pendeknya, diakui atau tidak, telah merusak sendi-sendi sektor manufaktur kita, terutama tekstil. Karena dua kepentingan ini, pemerintah abai kepada sektor manufaktur kita selama ini. Dan imbasnya mulai terasa sejak beberapa tahun belakangan, di mana satu per satu perusahaan tekstil gulung tikar dan mem-PHK karyawannya," katanya.
Di lain sisi, Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan Permendag 8/2024 bukan satu-satunya masalah yang dihadapi industri tekstil nasional. Masalah lainnya adalah tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku, menjadi tantangan berat bagi para produsen lokal.
Ia mengatakan di negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi tekstil jauh lebih rendah. Hal ini memberi keuntungan bagi produk mereka di pasar global. Sementara produk RI sulit bersaing karena harganya yang tidak kompetitif.
Pemerintah, katanya, bisa membantu menurunkan biaya produksi dengan memberikan subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil, sehingga mereka bisa lebih bersaing di pasar.
Selain biaya produksi, industri tekstil dalam negeri katanya juga menghadapi masalah dalam akses ke bahan baku berkualitas. Banyak perusahaan terpaksa mengimpor bahan baku karena kualitas bahan baku lokal sering kali tidak memenuhi standar.
"Untuk mengatasi ini, pemerintah bisa membantu mengembangkan industri bahan baku dalam negeri atau memperkuat kerja sama dengan pemasok lokal agar perusahaan tekstil tidak terlalu bergantung pada impor bahan baku," imbuhnya.

komentar
Jadi yg pertama suka