Cari Berita
Tips : hindari kata umum dan gunakan double-quote untuk kata kunci yang fix, contoh "sakura"
Maksimal 1 tahun yang lalu
Ekonomi & Bisnis
AIPGI Keberatan Penghentian Impor Garam: Produksi Domestik Tidak Mencukupi
TEMPO BISNIS   | 8 jam yang lalu
6   0    0    0
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengaku keberatan dengan kebijakan pemerintah menghentikan impor garam untuk kebutuhan aneka pangan dan farmasi mulai tahun ini. Pasalnya, produksi domestik belum mampu memenuhi kebutuhan industri.
"Kami sangat dukung program pemerintah di bidang pangan. Tapi harus rasional dan objektif kalau produksi dalam negeri tak bisa memenuhi kebutuhan aneka pangan dan farmasi, mau tak mau keluarkan kebijakan impor untuk menjaga kondisi industri," ujar Cucu saat dihubungi Tempo, Sabtu, 11 Januari 2025.
Pemerintah resmi melarang impor garam untuk kebutuhan aneka pangan dan farmasi mulai 1 Januari 2025. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional. Lewat beleid itu, pemerintah menutup impor garam industri, kecuali untuk kebutuhan chlor alkali plant (CAP).
Pemerintah, Cucu berujar, bertanggung jawab atas ketersediaan bahan baku industri. Ia meyakini, devisa yang dihasilkan oleh industri aneka pangan dan farmasi itu masih lebih besar dibandingkan kebutuhan importasi.
Cucu yang juga pernah menjabat Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Barat ini merinci, industri aneka pangan perlu mengimpor 600 ribu ton per tahun, sedangkan industri farmasi sebesar 6 ribu ton per tahun. CAP, yang importasinya masih diizinkan, memimpin dengan impor sebesar 2,3 juta ton per tahun.
Importasi garam, menurut Cucu, sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi dan daya saing industri. Terutama di saat pasar dalam negeri banyak diserbu oleh produk-produk impor.
Indonesia saat ini hanya memiliki lahan garam seluas 26 ribu hektare. Angka ini termasuk lahan yang dikelola oleh PT Garam. Dengan lahan ini, Cucu mengatakan setiap tahun perusahaan pelat merah ini memproduksi garam tidak lebih dari 1,5 juta ton. Itu pun, kata dia, dengan kualitas yang belum memadai.
Angka ini belum cukup memenuhi kebutuhan garam secara keseluruhan sebesar 4,3 juta ton. "Selalu orang bilang bahwa Indonesia garis pantai terbanyak. Tapi tidak semua bisa produksi garam. Itu hanya mitos," tutur Cucu.
Cucu menambahkan, setiap tahun industri di bidang farmasi, aneka pangan, dan CAP tumbuh 5 sampai 10 persen. Tiap Idulfitri, industri rata-rata meningkatkan produksi 1 hingga 3 kali lipat. Kebutuhan garam pun meningkat drastis. Jika tak ada bahan baku penolong, ia mengatakan industri tidak bisa berproduksi dan lama-lama akan tutup.
Industri bukannya tak menyerap garam dalam negeri. Cucu mengatakan, industri aneka pangan yang menjadi anggota asosiasinya juga melakukan itu. Namun, ia mengaku mendapatkan banyak keluhan dan penolakan dari konsumen. Kualitas garam dalam negeri dinilai belum optimal karena kadar NACl yang rendah.
Reni Yanita, saat itu menjabat Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pada Senin, 18 November 2024 pernah mengatakan pemerintah tak menutup kemungkinan merelaksasi impor garam untuk kebutuhan farmasi. Pasalnya, meski ada penambahan industri, produksi garam dari petani dan koperasi untuk memenuhi kebutuhan farmasi masih kurang.
Reni mengakui, industri farmasi saat ini belum siap untuk menghentikan impor dan menggantinya dengan garam dalam negeri. Pasalnya, untuk mengubah sumber bahan baku diperlukan proses yang lama.
Industri harus mengantongi sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Menurut dia, proses itu dapat memakan waktu hingga dua tahun.
komentar
Jadi yg pertama suka