Ekonomi & Bisnis
Melihat Bahaya yang Intai Ekonomi RI Usai Trump Sah Jadi Presiden AS
CNN EKONOMI
| 8 jam yang lalu
7 0 0
0
Jakarta, CNN Indonesia --
Donald Trump sah kembali menjadi presiden Amerika Serikat (AS) usai dilantik pada Senin (20/1) siang waktu setempat.
Ia pulang ke Gedung Putih, rumah lamanya saat menjabat sebagai presiden ke-45 pada 2017-2021. Wajah lama Negeri Paman Sam ini punya kebijakan ekonomi yang sempat mengena ke banyak negara, termasuk Indonesia.
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet ingat betul bagaimana sederet implikasi kebijakan 'America First' pada periode pertama Trump. Ia menegaskan proteksionisme ekonomi AS di bawah kendalinya berdampak signifikan bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nasib tanah air kali ini ia yakini tak akan beda jauh dengan periode pertama pemerintahan Trump. Kebijakan ketat Donald Trump ia perkirakan merugikan ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam.
"Terutama melalui pengenaan tarif tinggi dan hambatan perdagangan lainnya untuk produk-produk, seperti tekstil, alas kaki, dan produk pertanian," kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com.
Nah, kalau benar perkiraan ini, ada tiga siasat yang bisa dipakai Indonesia untuk menghadapi permainan Trump. Yusuf meminta Pemerintah Indonesia dan pelaku usaha harus segera mengambil langkah strategis.
Pertama, opsi yang bisa dipilih adalah memperkuat daya saing industri dalam negeri. Cara ini bisa ditempuh dengan meningkatkan efisiensi produksi dan nilai tambah produk.
Kedua, Yusuf mengatakan Indonesia mau tak mau mesti memperluas pasar ekspor demi mengurangi ketergantungan pada AS. Presiden Prabowo Subianto dan jajaran bisa memanfaatkan kerja sama ekonomi regional, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan mempererat hubungan bilateral dengan negara-negara non-tradisional.
"Ketiga, kita perlu memanfaatkan momentum relokasi industri dengan memperbaiki iklim investasi, infrastruktur, dan kemudahan berbisnis di Indonesia," tegasnya.
Relokasi industri menjadi keniscayaan di tengah potensi panasnya perang dagang Amerika dan China. Indonesia selaku alternatif basis produksi bisa mengambil peluang relokasi industri ke tanah air, sehingga investasi asing bakal naik dan lapangan kerja baru muncul.
RI siap perang tarif dengan AS?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah masih menunggu bagaimana gerak-gerik Donald Trump. Ia menekankan pihaknya akan terus memonitor bagaimana kebijakan pada periode kedua ini.
"Kita belum monitor apa yang akan dilakukan (Donald Trump). Sementara, (mitigasi pemerintah) monitor saja (gerak-gerik Trump)," bebernya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat.
"Mulai saja belum (tarif impor tinggi di era Trump), (masa) mau balas-balasan (perang tarif dengan AS)?" imbuh Airlangga.
Kendati, Airlangga menegaskan pemerintah tetap menjaga faktor fundamental penguatan rupiah. Upaya ini ditempuh sembari memantau bagaimana kebijakan ekonomi Trump di AS.
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai perlu ada pendekatan multi-dimensi untuk meredam dampak negatif kebijakan proteksionis AS.
Pemerintah harus aktif mengupayakan diplomasi ekonomi. Negosiasi bilateral dengan AS mesti ditempuh agar Indonesia bisa mempertahankan akses pasar dan preferensi perdagangan yang ada.
Langkah tersebut bisa dibarengi penguatan industri substitusi impor di dalam negeri. Ini ditempuh untuk mengurangi ketergantungan pada produk AS, terutama di sektor-sektor strategis.
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga harus diberdayakan agar ketahanan ekonomi nasional meningkat.
"Menurut saya, penguatan kerja sama ekonomi dengan mitra dagang utama lainnya, seperti Uni Eropa, Jepang, dan negara-negara ASEAN juga bisa membantu menyeimbangkan dampak dari kebijakan perdagangan AS yang mungkin kurang menguntungkan," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyinggung bagaimana Trump mengobarkan perang dagang dengan China pada periode pertamanya. Apa yang dilakukan sejak 2018 itu ditempuh demi memperbaiki defisit neraca perdagangan sekaligus melindungi pasar domestik AS.
Ia menegaskan kepemimpinan Presiden Trump cenderung menghasilkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan domestik AS. Pada akhirnya, pendekatan ditempuh melalui negosiasi bilateral yang tegas.
Sang ekonom juga menyoroti bagaimana kebijakan fiskal Trump cenderung ekspansif. Kombinasi pemotongan pajak dan belanja infrastruktur yang masif membuat kebijakan fiskal AS berbuah defisit anggaran dan bengkaknya utang pemerintah.
"Sebagai kombinasi dari kebijakan proteksionisme dan kebijakan fiskal yang ekspansif, kepemimpinan Presiden Trump akan cenderung menghasilkan inflasi yang lebih tinggi," prediksi Yusuf.
"Pada gilirannya, ini akan cenderung mendorong The Fed mempertahankan suku bunga di kisaran tinggi untuk waktu yang lebih lama atau higher for longer," sambungnya.
Imbasnya, arus modal dari emerging markets akan kembali ke AS. Dolar bakal menguat, serta menciptakan tekanan pada mata uang dan pengetatan likuiditas di pasar modal seluruh dunia.
Yusuf Wibisono menawarkan tiga langkah yang bisa dipilih pemerintah. Pertama, memitigasi pelemahan rupiah dan potensi tekanan pada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Nilai tukar rupiah jelas terpengaruh tindakan Trump. Ekspektasi inflasi AS yang lebih tinggi akan diikuti lonjakan tingkat bunga The Fed.
"Di periode pertama kepemimpinannya, narasi provokatif Presiden Trump tentang kebijakan fiskal atau perang dagang dengan China (juga) sering membuat pelaku pasar panik dan bereaksi secara berlebihan. Kenaikan BI rate untuk menjaga rupiah akan berdampak negatif dan menekan pertumbuhan ekonomi domestik," prediksi Yusuf.
Oleh karena itu, pemerintahan Prabowo mesti bersiap menjalankan upaya kedua, yakni memitigasi defisit dan utang. Pelemahan rupiah rentan meningkatkan defisit anggaran.
Yusuf mengatakan arus keluar modal akibat suku bunga tinggi The Fed dan yield tinggi obligasi pemerintah AS bakal menekan pasar. Negara pada akhirnya bakal menaikkan imbal hasil surat utang pemerintah.
"Ketiga, mitigasi dampak perang dagang antara AS dan China yang kemungkinan besar akan kembali mengalami eskalasi di era Trump. Perang dagang AS-China sejak 2018 telah membuat peran Indonesia cenderung semakin mengecil dalam rantai pasok global," tuturnya.
Ada dua kombinasi yang membuat sinar Indonesia justru semakin redup di tengah perang dagang itu.
Satu, seteru ini membuat banyak perusahaan multinasional yang berlokasi di China mencari alternatif rantai produksi yang lebih aman. Asia Tenggara menjadi pilihan, tapi bukan ke Indonesia, melainkan Vietnam, Thailand, atau Malaysia.
Dua, perang dagang memaksa Negeri Tirai Bambu mengalihkan tujuan ekspornya dari pasar tradisional AS ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Imbasnya, impor Indonesia dari China melonjak tinggi.
"Banjir impor dari China dengan harga sangat murah yang terindikasi dumping ini telah memukul industri dalam negeri, seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, keramik, produk kecantikan, hingga perangkat elektronik," tutup Yusuf.
komentar
Jadi yg pertama suka