Ekonomi & Bisnis
Tolak Izin Kelola Tambang, PGI Soroti Biaya dan Risiko Tinggi Industri Ekstraktif
TEMPO BISNIS
| Januari 28, 2025
10 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jacklevyn Fritz Manuputty menyoroti biaya dan risiko tinggi untuk organisasi masyarakat keagamaan jika terlibat mengelola tambang. Pendeta yang kerap disapa Jacky itu mengatakan, faktor biaya dan risiko menjadi salah satu alasan PGI menolak tawaran mengelola tambang dari pemerintah.
Jacky menyampaikan PGI telah melakukan kajian terhadap tawaran mengelola tambang tersebut. Hasilnya, tim kajian merekomendasikan agar PGI menolak terlibat dalam industri ekstraktif. "Perlu modal besar sekali, risiko besar, itu yang tadi disampaikan oleh teman-teman yang mengkaji," kata Jacky di Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa, 28 Januari 2025.
Menurut Jacky, PGI sebagai organisasi yang menaungi Gereja Kristen Protestan di Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk mengelola tambang. Di antaranya kapasitas untuk menghadapi kemungkinan adanya sengketa perdagangan yang mungkin muncul dari sektor bisnis tersebut.
Jacky berujar PGI ingin menghindari kemungkinan adanya sengketa dengan pihak-pihak yang terdampak usaha pertambangan, di antaranya masyarakat adat. "Kalau ada dispute seperti ini muncul dalam relasi dengan masyarakat adat, ini bagaimana? Jadi, banyak pertimbangan seperti itu untuk membilang tidak," ucap Jacky.
Selain itu, Jacky juga menyebutkan beberapa alasan lain yang mendasari sikap PGI. Salah satunya karena PGI mendapat masukan dari masyarakat adat agar tidak terlibat dalam industri ekstraktif pertambangan.
Jacky menyampaikan organisasinya selama ini kerap mengadvokasi masyarakat adat yang terkena dampak buruk di sekitar wilayah tambang. "Kami menerima banyak sekali masukan dari masyarakat adat ketika tawaran (mengelola tambang) itu diberikan, untuk mengingatkan jangan terima," kata Jacky.
Pada 20 Januari 2025 lalu, Badan Legislasi DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi usul inisiatif DPR. Dalam draf terakhir, revisi UU Minerba disisipkan Pasal 51A yang menyebutkan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral logam atau batu bara dapat diberikan kepada organisasi masyarakat keagamaan, koperasi, hingga perguruan tinggi.
Direktur Center for Economics and Law Studies, Bhima Yudhistira, mengkritik wacana pemberian konsesi pertambangan batubara untuk perguruan tinggi dan ormas keagamaan. Menurut Bhima, perguruan tinggi dan ormas berpotensi menghadapi kerugian finansial jika masuk ke sektor pertambangan.
Bhima membantah anggapan bahwa konsesi pertambangan batubara akan otomatis membuat kampus atau ormas keagamaan mendapat untung. "Ini saya juga ingin membantah, kampus yang mengelola tambang batubara itu akan membuat keuangan kampus lebih berdarah-darah lagi," kata Bhima di Cikini, Jakarta Pusat pada Kamis, 23 Januari 2025.
Menurut Bhima, pengelolaan tambang bukanlah hal yang mudah secara bisnis. Ia berujar kampus atau ormas sangat bisa merugi di sektor tersebut karena tidak memiliki pengalaman mengelola bisnis pertambangan.
komentar
Jadi yg pertama suka