Ekonomi & Bisnis
Forum Industri Nikel Indonesia Tolak Kenaikan Royalti Nikel: Ancaman bagi Industri dan Lapangan Kerja
TEMPO BISNIS
| 17 jam yang lalu
10 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menolak usulan kenaikan royalti nikel yang diajukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Konsultasi Publik Usulan Penyesuaian Jenis dan Tarif PNBP SDA Minerba pada 8 Maret 2025. Pemerintah mengusulkan kenaikan tarif royalti progresif bijih nikel dari 10 persen menjadi 14-19 persen serta kenaikan tarif royalti nikel matte dari 2 persen menjadi 4,5-6,5 persen.
Ketua Umum FINI Alexander Barus mengatakan kebijakan ini berisiko terhadap industri nikel nasional, terutama dalam kondisi ekonomi global yang tidak stabil. "Kenaikan ini mencapai 40 persen hingga 90 persen untuk bijih nikel dan 150 persen hingga 200 persen untuk nikel matte dibandingkan tarif sebelumnya. Hal ini jelas akan semakin membebani industri yang saat ini tengah menghadapi tekanan besar," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Maret 2025.
FINI mengungkapkan sejumlah faktor yang membuat kenaikan royalti ini tidak tepat. Salah satunya adalah ketidakpastian ekonomi global yang menyebabkan harga nikel turun ke level terendah sejak 2020. Alexander menyebutkan perang dagang dan peralihan industri kendaraan listrik ke baterai berbasis Lithium Ferro-Phosphate (LFP) mengurangi permintaan nikel di pasar internasional.
Selain itu, melemahnya ekonomi China turut mempengaruhi sektor hilirisasi nikel Indonesia. “China adalah pasar utama industri baja dunia, dan saat permintaannya turun, industri hilirisasi nikel kita ikut terdampak. Apalagi ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat berpotensi memperlambat pertumbuhan kendaraan listrik,” ujar Alexander.
FINI juga menyoroti peningkatan biaya produksi akibat berbagai kebijakan domestik, seperti kenaikan upah minimum regional (UMR), kewajiban penggunaan Biodiesel 40 (B40) yang lebih mahal, hingga aturan retensi Devisa Hasil Ekspor (DHE). “Biaya produksi semakin tinggi, sementara akses terhadap bijih nikel juga semakin sulit,” katanya.
Dari sisi tenaga kerja, hilirisasi nikel telah menciptakan lebih dari 350 ribu lapangan kerja, terutama di Indonesia Timur. Kenaikan royalti, menurut mereka, bisa berdampak pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tambang dan pengolahan nikel.
Alexander juga menyinggung kebijakan Global Minimum Tax yang menghapus insentif tax holiday bagi industri pionir seperti nikel. Menurutnya, hal ini akan memperketat arus kas perusahaan dan berisiko terhadap keberlanjutan sektor tersebut.
Dari sisi penerimaan negara, FINI menilai kenaikan royalti belum diperlukan. Mereka mencatat, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minerba selalu melampaui target dalam lima tahun terakhir. “Tahun 2020 realisasi PNBP mencapai 110 persen dari target, 2021 sebesar 193 persen, 2022 mencapai 180 persen, 2023 sebesar 118 persen, dan 2024 sudah mencapai 125 persen. Jadi belum saatnya menaikkan tarif royalti,” kata Alexander.
Meski menolak kebijakan ini, FINI menyatakan tetap terbuka untuk berdialog dengan pemerintah guna mencari solusi terbaik. “Kami selalu siap berdiskusi agar program hilirisasi dan industrialisasi sektor nikel bisa tetap berjalan tanpa mengorbankan daya saing industri nasional,” ujar Alexander.
komentar
Jadi yg pertama suka