Ekonomi & Bisnis
Maruarar Sirait Minta BPK Audit Pengembang Perumahan Subsidi, Adian Napitupulu: Nggak Perlu, Lah
TEMPO BISNIS
| 11 jam yang lalu
7 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI Adian Napitupulu merespons rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit pengembang rumah subsidi bermasalah. Adian mengatakan Menteri PKP Maruarar Sirait tidak perlu terlalu jauh mengambil langkah tersebut.
"Nggak perlu, lah. Masak UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) saja diperiksa," ujar Adian ketika ditemui usai rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan asosiasi pengembang perumahan di Gedung DPR, Rabu, 19 Maret 2025.
Lagipula, Politikus PDIP itu berujar, audit langsung tidak bisa dilakukan karena pengembang perumahan tidak mengelola anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Karena itu, anggota Komisi V DPR ini mengatakan Kementerian PKP perlu melihat dasar hukum pelaksanaan audit BPK terhadap pengembang perumahan.
"Ini kan swasta," ujar Adian. "Kalau ada permintaan audit, ya auditor publik."
Sebelumnya, Menteri PKP Maruarar Sirait alias Ara mengajukan permohonan kepada BPK untuk mengaudit pengembang rumah subsidi setelah kementeriannya menemukan rumah subsidi rusak, banjir, atau tidak layak. Dalam forum pertemuan dengan asosiasi pengembang di kantornya pada Jumat, 21 Februari 2025, Ara juga meminta pengembang perumahan setuju diaudit.
“Bukan negara mau jadi jagoan, tapi untuk melindungi masyarakat agar dapat pengembang bertanggung jawab,” kata Ara dalam rapat tersebut. “Kalau tidak setuju diaudit, sama dengan tidak setuju dengan langkah negara.”
Di penghujung rapat, para pengembang perumahan yang tergabung dalam sejumlah asosiasi pun menyepakati rencana audit. Bambang Setiadi, pengembang dari Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), termasuk yang sepakat dan langsung bertanya kepada Ara kapan audit akan dilaksanakan. Ketua Bidang Perizinan, Pertanahan Apersi itu percaya diri lantaran yakin perumahan yang ia bangun tidak bermasalah.
Namun, di sisi lain, Bambang mempertanyakan apa dasar hukum Ara dalam meminta BPK mengaudit pengembang. Pasalnya, pengembang hanyalah mitra yang digandeng pemerintah untuk menyediakan rumah subsidi. Pengembang tidak menjadi pengguna anggaran dalam program untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini.
“Kalaupun terjadi audit, kami mengusulkan bukan hanya kepada pengembang tapi kepada PUPR (Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) setempat, kabupaten,” kata Bambang saat ditemui usai rapat.
Ia menjelaskan, pengembang perumahan tidak bisa serta-merta menjadi penyedia rumah bersubsidi. Ada serangkaian proses dan seleksi hingga pengembang bisa ikut program FLPP. Sebelum membangun rumah juga ada perizinan yang harus diurus ke pemerintah daerah setempat. Kemudian ketika rumah yang dibangun pengembang ternyata tidak layak huni, persetujuan kredit untuk konsumen pun tidak bisa ditandatangani.
“Kalau ada yang harus diaudit, ya internal mereka, pemerintah, BUMN. Kemudian, ya pengguna anggaran, kementerian. Itu jelas diaudit,” kata Bambang.
Terkait dasar hukum, pengajar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Universitass Bengkulu Benni Kurnia Illahi mengatakan wewenang BPK adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), dan lembaga negara lainnya, termasuk BUMN dan BUMD. BPK memiliki fungsi audit keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu atau investigasi.
Adapun dalam konteks pembangunan rumah bersubsidi, anggaran program bersumber dari APBN yang dikelola oleh pemerintah pusat dan pemda yang diberi kewenangan delegasi. Anggaran tersebut kemudian dialokasikan untuk merealisasikan pembangunan rumah subsidi yang digarap pengembang. Karena itu, pihak yang semestinya diaudit BPK adalah pemerintah pusat dan pemda.
“Posisi pengembang sebagai pusat informasi, sejauh mana dia melaksanakan fungsi penyedia atau pelaksana proyek tersebut,” kata Benni saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 22 Februari 2025.
Seandainya dalam upaya konfirmasi tersebut ditemukan adanya indikasi ketidaksesuaian pembangunan yang berimplikasi terhadap kerugian negara, pengembang terikat kontrak dengan pemerintah. Karena itu, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi pelaksanaan kontrak terssebut. Artinya, bukan berarti bahwa BPK turun tangan langsung mengaudit apa yang sudah dilakukan pengembang.
"Fungsi BPK tidak sejauh itu,” kata Benni. Namun, sekali lagi, ia mengatakan BPK harus melibatkan pengembang dalam proses audit dengan tujuan tertentu untuk mengetahui hal teknis maupun substansialnya.
Pilihan Editor: Bank Indonesia Beli Surat Berharga Negara Rp 70 Triliun
komentar
Jadi yg pertama suka