Ekonomi & Bisnis
YLKI Minta OJK Batalkan Aturan Co-Payment Asuransi, Bukan Tunda
TEMPO BISNIS
| Juli 3, 2025
11 0 0
0
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatalkan aturan co-payment pembagian risiko asuransi kesehatan. Aturan ini mewajibkan nasabah menanggung 10 persen dari biaya klaim.
YLKI menilai penundaan aturan, yang disepakati OJK dan DPR dalam rapat pada Senin, 30 Juni 2025, tidak cukup melindungi konsumen. “Dan tidak sesuai dengan perjanjian awal di polis,” kata Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Rabu, 2 Juli 2025. Ia menilai kebijakan ini akan membuat konsumen berpikir dua kali untuk melanjutkan polis asuransi.
YLKI juga meminta OJK melibatkan konsumen dalam penyusunan kebijakan. Menurut Rio, OJK seharusnya menyelesaikan masalah mendasar seperti proses klaim dan layanan rumah sakit. “Menuntaskan persoalan terkait asuransi membuat OJK lebih bermarwah di mata konsumen,” ujarnya.
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, anggota Komisi XI Eric Hermawan meminta OJK menunda penerapan co-payment hingga 2027. Ia menilai OJK tidak melibatkan masyarakat dan tidak berkonsultasi dengan DPR sebelum menerbitkan kebijakan ini. “Harusnya ada pendekatan rakyat. Rakyat harus ditanya apakah mau dilakukan co-payment. Yang diuntungkan adalah industri,” kata Eric.
Ketua Komisi XI Mukhamad Misbakhun meminta OJK mengubah bentuk regulasi dari surat edaran menjadi peraturan resmi. “Harusnya jangan SE, tapi POJK sekalian,” ujarnya. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian OJK Ogi Prastomiyono menyatakan OJK akan mengikuti permintaan DPR.
Sebelumnya, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyebut lonjakan klaim asuransi kesehatan menjadi alasan diterbitkannya aturan co-payment. “Klaim asuransi kesehatan memang dari tahun ke tahun itu naik, terutama setelah pandemi,” kata Kepala Departemen Klaim dan Manfaat AAJI Dian Budiani dalam media gathering di Bogor, Rabu, 25 Juni 2025.
AAJI mencatat nilai klaim pada 2021 sebesar Rp 12,11 triliun. Angka ini naik menjadi Rp 16,67 triliun pada 2022, lalu melonjak ke Rp 20,77 triliun pada 2023. Tahun 2024, klaim mencapai Rp 24,18 triliun dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 3,79 juta orang.
komentar
Jadi yg pertama suka